Masih Adakah Pergerakan Mahasiswa Intelek?
Aku mengenali mereka
Yang tanpa tentara mau berperang melawan diktator
Dan yang tanpa uang mau memberantas korupsi
Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?
Yang tanpa tentara mau berperang melawan diktator
Dan yang tanpa uang mau memberantas korupsi
Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?
Potongan sajak “Pesan”, Soe Hok Gie
(sebelum Soe Hok Gie meninggal)
(sebelum Soe Hok Gie meninggal)
Dalam studi pendidikan yang kita jalani saat ini, kita mengenal apa yang dinamakan dengan
tingkat pendidikan yang berlaku mulai dari pendidikan usia dini (PAUD, TK, RA,
dsb), pendidikan dasar (SD/MI), pendidikan menengah pertama (SMP/MTs),
pendidikan menengah atas (SMA/SMK/MA) dan pendidikan tinggi (S1/S2/S3). Namun
yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai peran pergerakan seorang
mahasiswa yang bergelut dalam pendidikan tinggi baik S1, S2 maupun S3. Peran
mahasiswa bagi kehidupan bangsa dalam hal ini di Indonesia bukan hanya sebagai
peserta didik dari suatu lembaga pendidikan akan tetapi mahasiswa menduduki
peran yang amat penting bagi kemajuan bangsa Indonesia dalam berbagai aspek
salah satunya adalah mahasiswa berperan sebagai penyalur aspirasi rakyat
melalui pergerakannya menghadapi polemik yang terjadi dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Perlu diketahui gerakan
mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun
di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan,
intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di
dalamnya.
Bisa
kita lihat bagaimana sejarah membuktikan tentang peran mahasiswa sebagai salah
satu tonggak lajunya kehidupan bangsa Indonesia. Pada pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische
Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah
air. Mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh pada saat
itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang
dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.Diinspirasi oleh
pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun
seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun 1926, Kelompok
Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke
Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten Islam
Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun 1930-an. Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis
pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia yang memunculkan Sumpah
Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II
yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober 1928, dimotori oleh PPPI.
Kemudian pada tahun 1945
Mahasiswa yang pada saat itu terpaksa ikut dalam kasus gerakan kelompok bawah tanah
yang antara lain dipimpin oleh Chairul
Saleh dan Soekarni, terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya
memproklamirkan kemerdekaan Indonesia yang akhirnya bangsa Indonesia hingga
saat ini dapat menikmati kemerdekaan yang telah mereka perjuangkan. Peristiwa ini
dikenal kemudian dengan peristiwa Rengasdengklok. Kemudian beberapa tahun kemudian, antara tahun 1965-1966 mahasiswa
kembali berperan. Pada tanggal 25 Oktober 1966 mahasiswa membentuk Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah
organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu
Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb, yakni PMKRI, HMI, PMII, Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi
Lokal
(SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI).
Tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan
perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan. Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi
Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI),
Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain. Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda
dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan dalam mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan '66,
yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara
sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh
mahasiswa saat itu adalah mereka yang kemudian berada pada lingkar kekuasaan
Orde Baru, di antaranya Cosmas Batubara (Eks Ketua Presidium KAMI Pusat), Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi
ketiganya dari PMKRI,Akbar Tanjung dari HMI dll. Angkatan '66
mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten negara.
Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa
menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai
Komunis Indonesia). Setelah Orde Lama berakhir, aktivis Angkatan '66 pun mendapat hadiah
yaitu dengan banyak yang duduk di kursi DPR/MPR serta diangkat dalam kabibet
pemerintahan Orde Baru.
Berbeda dengan yang terjadi
pada tahun 1966 yang pada saat itu para mahasiswa begitu erat dengan militer
maka generasi mahasiswa pada tahun 1974 mengalami konfrontasi dengan militer.
Pada tahun ini antara mahasiswa dan militer benar-benar terjadi chaos.
Sebelum menginjak awal 1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan
berbagai kritik dan koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru. Diawali dengan reaksi terhadap
kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang paling
mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah,
selanjutnya apa yang disebut gerakan "Mahasiswa Menggugat" yang
dimotori Arif Budiman yang
progaram utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM, dan korupsi. Protes
terus berlanjut. Tahun 1972, dengan isu harga beras naik, berikutnya tahun 1973
selalu diwarnai dengan isu korupsi sampai dengan meletusnya demonstrasi
memprotes PM Jepang Kakuei Tanaka yang datang ke Indonesia dan peristiwa Malari pada 15 Januari 1974. Gerakan mahasiswa di Jakarta
meneriakan isu "Ganyang Korupsi" sebagai salah satu tuntutan "Tritura
Baru" disamping dua tuntutan lainnya Bubarkan Asisten Pribadi dan Turunkan
Harga; sebuah versi terakhir Tritura yang muncul setelah versi koran Mahasiswa
Indonesia di Bandung sebelumnya. Gerakan ini berbuntut dihapuskannya jabatan Asisten
Pribadi Presiden.
Tahun 1977-1978 muncul kembali
pergerakan Mahasiswa yang begitu dahsyat. Pada tanggal 28 Oktober 1977, delapan ribu
anak muda berkumpul di depan
kampus ITB. Mereka berikrar satu suara, "Turunkan Suharto!".
Besoknya, semua yang berteriak, raib ditelan terali besi. Kampus segera
berstatus darurat perang. Namun, sekejap kembali tentram. 10 November 1977, di Surabaya
dipenuhi tiga ribu jiwa muda. Setelah peristiwa di ITB pada
Oktober 1977, giliran Kampus ITS Baliwerti beraksi. Dengan
semangat pahlawan, berbagai pimpinan mahasiswa se-Jawa hadir memperingati hari
Pahlawan 1977. Seribu mahasiswa berkumpul, kemudian berjalan kaki dari
Baliwerti menuju Tugu Pahlawan. Sementara di kota-kota lain,
peringatan hari Pahlawan juga semarak. Di Jakarta, 6000 mahasiswa berjalan kaki
lima kilometer dari Rawamangun (kampus IKIP) menuju Salemba (kampus UI),
membentangkan spanduk,"Padamu Pahlawan Kami Mengadu". Juga dengan
pengawalan ketat tentara. Peringatan 12 tahun Tritura, 10 Januari 1978,
peringatan 12 tahun Tritura itu jadi awal sekaligus akhir. Penguasa menganggap
mahasiswa sudah di luar toleransi. Dimulailah penyebaran benih-benih teror dan
pengekangan. Sejak
awal 1978, 200 aktivis mahasiswa ditahan tanpa sebab. Bukan hanya dikurung,
sebagian mereka diintimidasi lewat interogasi. Banyak yang dipaksa mengaku
pemberontak negara. Tentara
pun tidak sungkan lagi masuk kampus. Berikutnya, ITB kedatangan pria loreng
bersenjata. Rumah rektornya secara misterius ditembaki orang tak dikenal. Di UI, panser juga masuk kampus.
Wajah mereka garang, lembaga pendidikan sudah menjadi medan perang. Kemudian
hari, dua rektor kampus besar itu secara semena-mena dicopot dari jabatannya.
Alasannya, terlalu melindungi anak didiknya yang keras kepala. Di ITS, delapan fungsionaris DM
masuk "daftar dicari" Detasemen Polisi Militer. Sepulang aksi dari
Jakarta, di depan kos mereka sudah ditunggui sekompi tentara. Rektor ITS waktu
itu, Prof Mahmud Zaki, ditekan langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
untuk segera membubarkan aksi dan men-drop out para pelakunya. Sikap rektor
seragam, sebisa mungkin ia melindungi anak-anaknya. Beberapa berhasil tertangkap,
sisanya bergerilya dari satu rumah ke rumah lain. Dalam proses tersebut,
mahasiswa tetap "bergerak". Selama masih ada wajah yang aman dari
daftar, mereka tetap konsolidasi, sembunyi-sembunyi. Pergolakan kampus masih
panas, walau Para Rektor berusaha menutupi, intelejen masih bisa membaca jelas.
Puncak dari peranan mahasiswa
dalam beberapa dekade terjadi pada tahun 1998 yang pada saat itu para mahasiswa menuntut reformasi dan dihapuskannya "KKN" (korupsi, kolusi
dan nepotisme) , lewat pendudukan
gedung DPR/MPR oleh
ribuan mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya. Berbagai tindakan represif
yang menewaskan aktivis mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan
ini di antaranya: Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi Lampung. Gerakan ini terus berlanjut hingga pemilu
1999.
***
Beberapa pergerakan
para mahasiswa tersebut bukanlah tanpa didasari dengan pengorbanan dan
pemikiran yang kuat. Para mahasiswa pada saat itu benar-benar berusaha keras
untuk memperjuangkan segala sesuatu yang memang seharusnya menjadi hak seluruh
rakyat indonesia. Mereka berjihad melawan segala ketidakadilan yang serta merta
merugikan dan menganiaya rakyatt kecil. Sehingga Soe Hok Gie berkata dalam
sajaknya “Aku mengenali mereka/ Yang tanpa tentara mau berperang melawan
diktator/Dan yang tanpa uang mau memberantas korupsi//Kawan-kawan/Kuberikan
padamu cintaku/Dan maukah kau berjabat tangan/Selalu dalam hidup ini?”. Akan tetapi apa yang terjadi dengan kondisi pergerakan mahasiswa hari
ini?. Terlebih pemikiran yang berlaku dalam kehidupan para mahasiswa hari ini.
Jika kita telaah kembali mengenai perkembangan yang terjadi dalam dunia
pendidikan di tingkat tinggi dalam hal ini mahasiswa sebagai tokoh pergerakan
di Indonesia maka patutlah kita selaku bangsa Indonesia merasa miris. Jika
dahulu para mahasiswa yang berkumpul di warung-warung kopi berdiskusi secara
matang tentang pergerakan yang harus dilakukan demi memperjuangkan hak rakyat
Indonesia maka hari ini berbeda, para mahasiswa berkumpul, nongkrong dan
mengobrol di kafe-kafe, warung kopi dan di taman-taman kampus membicarakan fashion,
lifestyle dan seks bebas. Inilah yang mayoritas terjadi di
lingkungan mahasiswa saat ini.
Mahasiswa
tidak lagi dianggap sebagai pencetus pergerakan rakyat Indonesia. Entah apa
yang menjadi penyebab utama dari jatuhnya moral bangsa pada saat ini. Seperti
halnya yang terjadi di Yogyakarta sebuah kota yang selama ini kita kenal
sebagai kota pelajar, ternyata mayoritas Mahasiswi disana sudah tidak perawan
lagi. Bahkan salah seorang mahasiswi yang kuliah di salah satu PTS di
Yogyakarta mengatakan “Masalah keperawanan di Yogyakarta sudah tidak menjadi
hal yang patut dipertahankan. Sebaliknya, setiap kali
berbicara dengan teman-teman, semua orang selalu membicarakan soal seks, soal
hubungan dengan pacar-pacarnya atau mantan-mantannya. Bahwa ‘saya sudah tidur
dengan si A atau si B', merupakan suatu kebanggan”. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan di kampus telash menuai berbagai
efek negatif, tidak sedikit dari mereka yang malah menjadi seorang PSK. Fenomena
mahasiswi yang menjadi pekerja seks komersial atau biasa disebut ayam kampus
ditemukan di Kota Makassar. Pada tahun 2005, peneliti Balai Pelestarian Nilai
Budaya Makassar, Disana ditemukan
sejumlah pengakuan dari beberapa
mahasiswi. Tidak semua mahasiswi yang terjun menjadi ayam kampus karena alasan
kebutuhan ekonomi. Tapi sebagian di antaranya mengaku menjadi ayam kampus
karena tidak mampu menahan desakan biologisnya. Melihat fenomena yang terjadi saat ini, maka apa tindakan yang harus
kita lakukan sebagai generasi penerus bangsa Indonesia.
Beralih dari
masalah ayam kampus di atas, kita lihat pergerakan mahasiswa saat ini. Ideologi
pergerakan mahasiswa pada masa kekinian telah mengalami kemunduran yang cukup
telak. Tidak bisa dipungkiri generasi-generasi muda saat ini telah mendapatan
berbagai pengaruh globalisasi. Para aktivis mahasiswa mengalami krisis
ideologi. Hal ini disebabkan karena berkurangnya atau melemahnya budaya
literasi dalam lingkungan mahasiswa. Budaya literasi merupakan hal yang amat
penting, sebab dari sinilah munculnya pikiran-pikiran kritis guna menghadapi
setiap masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Budaya literasi yakni budaya membaca, menulis dan diskusi. Seorang aktivis
mahasiswa seharusnya memiliki daya baca yang kuat sebab dengan membaca akan
muncul pemikiran-pemikiran yang kritis mengenai lingkungan di sekitarnya.
Seorang aktivis mahasiswa juga seharusnya dapat menuangkan pikiran-pikirannya
melalui tulisan agar ide-ide mengenai permasalahan sosial yang dianggap dapat
memberikan kesadaran bagi mahasiswa dan masyarakat itu dapat disebarkan melalui
media-media cetak. Terakhir adalah budaya diskusi, setelah seorang aktivis
mahasiswa telah memiliki kemampuan membaca dan menulisan pikiran-pikirannya
maka seorang mahasiswa dituntut untu mengantarkannya kedalam sebuah forum
diskusi. Entah itu sebuah diskusi santai di warung-warung kopi atau diangkat
dalam sebuah diskusi yang lebih formal. Namun, pada kenyataannya, hari ini
mayoritas mahasiswa dan para kativis hanya mementingkan kepentingan golongannya
masing-masing, tida sedikit para aktivis dari stu golongan dengan golongan yang
lain mengalami clash. Selebihnya seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa
gerakan mahasiswa pada masa kekinian telah mengalami kemunduran. Hal ini
terbukti dengan hilangnya budaya literasi yang kemudian dihancurkan oleh budaya
lifestyle, fashion dan seks bebas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar