MAYANGSARI DAN SEBUAH SAJAK
“Mencumbumu…
sebuah
irama bagi sajak-sajakku”
Sebait
sajak yang kutulis ditubuhmu
Bara
menjelma pada jubah maladewa
Kita
berdiri di tepi negeri suku apartheid
Lalu aku
melihatmu bagai tak tersentuh pagi
bersembunyi
di bibir subuh
Dan
tenggelam dalam sisa kabut
Larut
berpadu darah
Mendayung
bintang ke timur
Menjerit
bagai tangisan bayi setengah hari
Bukan
hanya badai tanpa sayap
Lengking
kecapi dan denting piano
Terpenjara
di ujung putingmu
Aku
tergugah oleh dekorasi alam yang terhalang kudeta manusia jalang
merah
pada pipimu semekar kelopak mawar dan mega di batas awan
Disela
dzikir Jibril bagi para musafir malam
Mencoba
mencari sebait ayat pada sehelai kulit unta
Terikat
lukisan dan pikiranku yang khusyuk
Kau
datang membawa selembar kafan
Nampaknya,
permadani diatas samudera adalah sesajen sederhana
Atau
permata di segelas tuak yang kuhidangkan bersama nyawa
Adalah
kutukan-kutukan bunga haram
Mayangsari
O,
kembang purnama di peluk syair para sufi
Tiba-tiba
aku memimpikan punggungmu yang ranum
Menggeliat,
memanggil tuhan
Namun
dadamu yang selebar Bromo
Menyisakan
tangisan di simpang jalan
Deras
hujan dan candu arak adalah pengabdianmu yang mati
Mengering
bersama ranting dan tanah merah
Ingin sekali
kukirimkan sajak-sajakku
kau
datang padaku
Dan
memberi seribu kemenyan di atas ranjang
Sebagai
sambutan roh-roh leluhur
Tajug-tajug
tua berdiri tegak di jemariku yang lancang
Barangkali,
bisa kusimpan nafsuku
Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar