SAJAK POTRET KELUARGA
Oleh :
W.S. Rendra
Tanggal lima belas tahun rembulan.
Wajah
molek bersolek di angkasa.
Kemarau dingin jalan berdebu.
Ular
yang lewat dipagut naga.
Burung tekukur terpisah dari sarangnya.
Kepada rekannya berkatalah suami itu :
“Semuanya akan beres. Pasti beres.
Mengeluhkan keadaan tak ada gunanya.
Kesukaran selalu ada.
Itulah namanya kehidupan.
Apa yang kita punya sudah lumayan.
Asal keluarga sudah terjaga,
rumah dan mobil juga ada,
apa palgi yang diruwetkan ?
Anak-anak dengan tertib aku sekolahkan.
Yang putri di SLA, yang putra mahasiswa.
Di rumah ada TV, anggrek,
air conditioning, dan juga agama.
Inilah kesejahteraan yang harus dibina.
Kita mesti santai.
Hanya orang edan sengaja mencari kesukaran.
Memprotes keadaaan, tidak membawa perubahan.
Salah-salah malah hilang jabatan.”
………
Tanggal lima belas tahun rembulan
Angin
kemarau tergantung di blimbing berkembang.
Malam
disambut suara halus dalam rumputan.
Anjing menjenguk keranjang sampah.
Kucing berjalan di bubungan atap.
Dan
ketonggeng menunggu di bawah batu.
Isri itu duduk di muka kaca dan berkata :
“Hari-hari mengalir seperti sungai arak.
Udara penuh asap candu.
Tak ada yang jelas di dalam kehidupan.
Peristiwa melayang-layang bagaikan bayangan.
Tak ada yang bisa diambil pegangan.
Suamiku asyik dengan mobilnya
padahal hidupnya penuh utang.
Semakin kaya semakin banyak pula utangnya.
Uang sekolah anak-anak selalu lambat dibayar.
Ya, Tuhan, apa yang terjadi pada anak-anakku.
Apakah jaminan pendidikannya ?
Ah, Suamiku !
Dahulu ketika remaja hidupnya sederhana,
pikirannya jelas pula.
Tetapi kini serba tidak kebenaran.
Setiap barang membuatnya berengsek.
Padahal harganya mahal semua.
TV Selalu dibongkar.
Gambar yang sudah jelas juga masih
dibenar-benarkan.
Akhirnya tertidur…….
Sementara TV-nya membuat kegaduhan.
Tak ada lagi yang bisa menghiburnya.
Gampang marah soal mobil
Gampang pula kambuh bludreknya
Makanan dengan cermat dijaga
malahan kena sakit gula.
Akulah yang selalu kena luapan.
Ia marah karena tak berdaya.
Ia menyembunyikan kegagalam.
Ia hanyut di dalam kemajuan zaman.
Tidak gagah. Tidak berdaya melawannya !”
…......................................
Tanggal lima belas tahun rembulan.
Tujuh unggas tidur di pohon nangka
Sedang di tanah ular mencari mangsa.
Berdesir-desir bunyi kali dikejauhan.
Di tebing yang landai tidurlah buaya.
Di antara batu-batu dua ketam bersenggama.
Sang Putri yang di SLA, berkata :
“Kawinilah aku. Buat aku mengandung.
Bawalah aku pergi. Jadikanlah aku babu.
Aku membenci duniaku ini.
Semuanya serba salah, setiap orang gampang
marah.
Ayah gampang marah lantaran mobil dan TV
Ibu gampang marah lantaran tak berani marah
kepada ayah.
Suasana tegang di dalam rumah
meskipun rapi perabotannya.
Aku yakin keluargaku mencintaiku.
Tetapi semuanya ini untuk apa ?
Untuk apa hidup keluargaku ini ?
Apakah ayah hidup untuk mobil dan TV ?
Apakah ibu hidup karena tak punya pilihan ?
Dan aku ? Apa jadinya aku nanti ?
Tiga belas tahun aku belajar di sekolah.
Tetapi belum juga mampu berdiri sendiri.
Untuk apakah kehidupan kami ini ?
Untuk makan ? Untuk baca komik ?
Untuk apa ?
Akhirnya mendorong untuk tidak berbuat apa-apa !
Kemacetan mencengkeram hidup kami.
Kakasihku, temanilah aku merampok Bank.
Pujaanku, suntikkan morpin ini ke urat darah di
tetekku “
………....................................
Tanggal lima belas tahun rembulan.
Atap-atap rumah nampak jelas bentuknya
di bawah cahaya bulan.
Sumur yang sunyi menonjol di bawah dahan.
Akar bambu bercahaya pospor.
Keleawar terbang menyambar-nyambar.
Seekor kadal menangkap belalang.
Sang Putra, yang mahasiswa, menulis surat
dimejanya :
“ Ayah dan ibu yang terhormat,
aku pergi meninggalkan rumah ini.
Cinta kasih cukup aku dapatkan.
Tetapi aku menolak cara hidup ayah dan ibu.
Ya, aku menolak untuk mendewakan harta.
Aku menolak untuk mengejar kemewahan,
tetapi kehilangan kesejahteraan.
Bahkan kemewahan yang ayah punya
tidak juga berarti kemakmuran.
Ayah berkata : “santai, santai ! “
tetapi sebenarnya ayah hanyut
dibawa arus jorok keadaan
Ayah hanya punya kelas,
tetapi tidak punya kehormatan.
Kenapa ayah berhak mendapatkan kemewahan yang
sekarang ayah miliki ini?
Hasil dari bekerja ? Bekerja apa ?
Apakh produksi dan jasa seorang birokrat yang
korupsi ?
Seorang petani lebih produktip daripada ayah.
Seorang buruh lebih punya jasa yang nyata.
Ayah hanya bisa membuat peraturan.
Ayah hanya bisa tunduk pada atasan.
Ayah hanya bisa mendukung peraturan yang
memisahkan rakyat dari penguasa.
Ayah tidak produktip melainkan destruktip.
Namun toh ayah mendapat gaji besar !
Apakah ayah pernah memprotes ketidakadilan ?
tidak pernah, bukan ?
Terlalu beresiko, bukan ?
Apakah aku harus mencontoh ayah ?
Sikap hidup ayah adalah pendidikan buruk bagi
jiwaku.
Ayah dan ibu, selamat tinggal.
Daya hidupku menolak untuk tidak berdaya. “
Yogya, 10 Juli 1975.
Potret Pembangunan dalam Puisi
SAJAK PULAU BALI
Oleh :
W.S. Rendra
Sebab percaya akan keampuhan industri
dan yakin bisa memupuk modal nasional
dari kesenian dan keindahan alam,
maka Bali menjadi obyek pariwisata.
Betapapun :
tanpa basa-basi keyakinan seperti itu,
Bali harus dibuka untuk pariwisata.
Sebab :
pesawat-pesawat terbang jet sudah dibikin,
dan maskapai penerbangan harus berjalan.
Harus ada orang-orang untuk diangkut.
Harus diciptakan tempat tujuan untuk dijual.
Dan waktu senggang manusia,
serta masa berlibur untuk keluarga,
harus bisa direbut oleh maskapai
untuk diindustrikan.
Dan Bali,
dengan segenap kesenian,
kebudayaan, dan alamnya,
harus bisa diringkaskan,
untuk dibungkus dalam kertas kado,
dan disuguhkan pada pelancong.
Pesawat terbang jet di tepi rimba Brazilia,
di muka perkemahan kaum Badui,
di sisi mana pun yang tak terduga,
lebih mendadak dari mimpi,
merupakan kejutan kebudayaan.
Inilah satu kekuasaan baru.
Begitu cepat hingga kita terkesiap.
Begitu lihai sehingga kita terkesima.
Dan sementara kita bengong,
pesawat terbang jet yang muncul dari mimipi,
membawa bentuk kekuatan modalnya :
lapangan terbang. “hotel - bistik - dan - coca cola”,
jalan raya, dan para pelancong.
“Oh, look, honey - dear !
Lihat orang-orang pribumi itu!
Mereka memanjat pohon kelapa seperti kera.
Fantastic ! Kita harus memotretnya !
................................
Awas ! Jangan dijabat tangannya !
senyum saja and say hello.
You see, tangannya kotor
Siapa tahu ada telor cacing di situ.
…………………….
My God, alangkah murninya mereka.
Ia tidak menutupi teteknya !
Look, John, ini benar-benar tetek.
Lihat yang ini ! O, sempurna !
Mereka bebas dan spontan.
Aku ingin seperti mereka…..
Eh, maksudku…..
Okey ! Okey !….Ini hanya pengandaian saja.
Aku tahu kamu melarang aku tanpa beha.
Look, now, John, jangan cemberut !
Berdirilah di sampingnya,
aku potret di sini.
Ah ! Fabolous !”
Dan Bank Dunia
selalu tertarik membantu negara miskin
untuk membuat proyek raksasa.
Artinya : yang 90 % dari bahannya harus diimpor.
Dan kemajuan kita
adalah kemajuan budak
atau kemajuan penyalur dan pemakai.
Maka di Bali
hotel-hotel pribumi bangkrut
digencet oleh packaged tour.
Kebudayaan rakyat ternoda
digencet standar dagang internasional.
Tari-tarian bukan lagi satu mantra,
tetapi hanya sekedar tontonan hiburan.
Pahatan dan ukiran bukan lagi ungkapan jiwa,
tetapi hanya sekedar kerajinan tangan.
Hidup dikuasai kehendak manusia,
tanpa menyimak jalannya alam.
Kekuasaan kemauan manusia,
yang dilembagakan dengan kuat,
tidak mengacuhkan naluri ginjal,
hati, empedu, sungai, dan hutan.
Di Bali :
pantai, gunung, tempat tidur dan pura,
telah dicemarkan
Pejambon,
23 Juni 1977.
Potret
Pembangunan dalam Puisi
SAJAK S L A
Oleh :
W.S. Rendra
Murid-murid mengobel klentit
ibu gurunya
Bagaimana itu mungkin ?
Itu mungkin.
Karena tidak ada patokan
untuk apa saja.
Semua boleh. Semua tidak
boleh.
Tergantung pada cuaca.
Tergantung pada amarah dan
girangnya sang raja.
Tergantung pada kuku-kuku
garuda dalam mengatur kata-kata.
Ibu guru perlu sepeda motor
dari Jepang.
Ibu guru ingin hiburan dan
cahaya.
Ibu guru ingin atap rumahnya
tidak bocor.
Dan juga ingin jaminan pil
penenang,
tonikum-tonikum dan obat
perangsang yang dianjurkan oleh dokter.
Maka berkatalah ia
Kepada orang tua
murid-muridnya :
“Kita bisa mengubah keadaan.
Anak-anak akan lulus ujian
kelasnya,
terpandang di antara
tetangga,
boleh dibanggakan pada kakak
mereka.
Soalnya adalah kerjasama
antara kita.
Jangan sampai kerjaku
terganggu,
karna atap bocor.”
Dan papa-papa semua senang.
Di pegang-pegang tangan ibu
guru,
dimasukan uang ke dalam
genggaman,
serta sambil lalu,
di dalam suasana
persahabatan,
teteknya disinggung dengan
siku.
Demikianlah murid-murid
mengintip semua ini.
Inilah ajaran tentang
perundingan,
perdamaian, dan santainya
kehidupan.
Ibu guru berkata :
“Kemajuan akan berjalan
dengan lancar.
Kita harus menguasai mesin
industri.
Kita harus maju seperti
Jerman,
Jepang, Amerika.
Sekarang, keluarkanlah daftar
logaritma.”
Murid-murid tertawa,
dan mengeluarkan rokok
mereka.
“Karena mengingat kesopanan,
jangan kalian merokok.
Kelas adalah ruangbelajar.
Dan sekarang : daftar
logaritma !”
Murid-murid tertawa dan
berkata :
“Kami tidak suka daftar
logaritma.
Tidak ada gunanya !”
“kalian tidak ingin maju ?”
“Kemajuan bukan soal
logaritma.
Kemajuan adalah soal
perundingan.”
“Jadi apa yang kaian inginkan
?”
“Kami tidak ingin apa-apa.
Kami sudah punya semuanya.”
“Kalian mengacau !”
“Kami tidak mengacau.
Kami tidak berpolitik.
Kami merokok dengan santai.
Sperti ayah-ayah kami di
kantor mereka :
santai, tanpa politik
berunding dengan Cina
berunding dengan Jepang
menciptakan suasana girang.
Dan di saat ada pemilu,
kami membantu keamanan,
meredakan partai-partai.”
Murid-murid tertawa.
Mereka menguasai perundingan.
Ahli lobbying.
Faham akan gelagat.
Pandai mengikuti keadaan.
Mereka duduk di kantin,
minum sitrun,
menghindari ulangan sejarah.
Mereka tertidur di bangku
kelas,
yang telah mereka bayar sama
mahal
seperti sewa kamar di hotel.
Sekolah adalah pergaulan,
yang ditentukan oleh mode,
dijiwai oleh impian kemajuan
menurut iklan.
Dan bila ibu guru berkata :
“Keluarkan daftar logaritma
!”
Murid-murid tertawa.
Dan di dalam suasana
persahabatan,
mereka mengobel ibu guru
mereka.
Yogya, 22 Juni 1977.
Potret Pembangunan dalam Puisi
SAJAK SEBATANG LISONG
Oleh :
W.S. Rendra
Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………
Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.
Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
………………
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.
19 Agustus 1977
ITB Bandung
Potret Pembangunan dalam Puisi
Sajak ini dipersembahkan kepada para mahasiswa Institut Teknologi Bandung,
dan dibacakan di dalam salah satu adegan film “Yang Muda Yang Bercinta”, yang
disutradarai oleh Sumandjaya.
SAJAK SEBOTOL BIR
Oleh :
W.S. Rendra
Menenggak bir sebotol,
menatap dunia,
dan melihat orang-orang
kelaparan.
Membakar dupa,
mencium bumi,
dan mendengar derap
huru-hara.
Hiburan kota besar dalam
semalam,
sama dengan biaya pembangunan
sepuluh desa !
Peradaban apakah yang kita
pertahankan ?
Mengapa kita membangun kota
metropolitan ?
dan alpa terhadap peradaban
di desa ?
Kenapa pembangunan menjurus
kepada penumpukan,
dan tidak kepada pengedaran ?
Kota metropolitan di sini
tidak tumbuh dari industri,
Tapi tumbuh dari kebutuhan
negara industri asing
akan pasaran dan sumber
pengadaan bahan alam
Kota metropolitan di sini,
adalah sarana penumpukan bagi
Eropa, Jepang, Cina, Amerika,
Australia, dan negara
industri lainnya.
Dimanakah jalan lalu lintas
yang dulu ?
Yang neghubungkan desa-desa
dengan desa-desa ?
Kini telah terlantarkan.
Menjadi selokan atau
kubangan.
Jalanlalu lintas masa kini,
mewarisi pola rencana
penjajah tempo dulu,
adalah alat penyaluran barang-barang
asing dari
pelabuhan ke
kabupaten-kabupaten dan
bahan alam dari
kabupaten-kabupaten ke pelabuhan.
Jalan lalu lintas yang
diciptakan khusus,
tidak untuk petani,
tetapi untuk pedagang
perantara dan cukong-cukong.
Kini hanyut di dalam arus
peradaban yang tidak kita kuasai.
Di mana kita hanya mampu
berak dan makan,
tanpa ada daya untuk
menciptakan.
Apakah kita akan berhenti
saampai di sini ?
Apakah semua negara yang
ingin maju harus menjadi negara industri ?
Apakah kita bermimpi untuk
punya pabrik-pabrik
yang tidak berhenti-hentinya
menghasilkan……..
harus senantiasa
menghasilkan….
Dan akhirnya memaksa negara
lain
untuk menjadi pasaran
barang-barang kita ?
…………………………….
Apakah pilihan lain dari
industri hanya pariwisata ?
Apakah pemikiran ekonomi kita
hanya menetek pada komunisme
dan kapitalisme ?
Kenapa lingkungan kita
sendiri tidak dikira ?
Apakah kita akan hanyut saja
di dalam kekuatan penumpukan
yang menyebarkan pencemaran
dan penggerogosan
terhadap alam di luar dan
alam di dalam diri manusia ?
……………………………….
Kita telah dikuasai satu
mimpi
untuk menjadi orang lain.
Kita telah menjadi asing
di tanah leluhur sendiri.
Orang-orang desa blingsatan,
mengejar mimpi,
dan menghamba ke Jakarta.
Orang-orang Jakarta
blingsatan, mengejar mimpi
dan menghamba kepada Jepang,
Eropa, atau Amerika.
Pejambon, 23 Juni 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi
SAJAK SEONGGOK JAGUNG
Oleh :
W.S. Rendra
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda
yang kurang sekolahan.
Memandang jagung itu,
sang pemuda melihat ladang;
ia melihat petani;
ia melihat panen;
dan suatu hari subuh,
para wanita dengan gendongan
pergi ke pasar ………..
Dan ia juga melihat
suatu pagi hari
di dekat sumur
gadis-gadis bercanda
sambil menumbuk jagung
menjadi maisena.
Sedang di dalam dapur
tungku-tungku menyala.
Di dalam udara murni
tercium kuwe jagung
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda.
Ia siap menggarap jagung
Ia melihat kemungkinan
otak dan tangan
siap bekerja
Tetapi ini :
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda tamat SLA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.
Ia memandang jagung itu
dan ia melihat dirinya terlunta-lunta .
Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik.
Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalase.
Ia melihat saingannya naik sepeda motor.
Ia melihat nomor-nomor lotre.
Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal.
Seonggok jagung di kamar
tidak menyangkut pada akal,
tidak akan menolongnya.
Seonggok jagung di kamar
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan,
yang hanya terlatih sebagai pemakai,
tetapi kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.
Aku bertanya :
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya ?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya ?
Apakah gunanya seseorang
belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :
“ Di sini aku merasa asing dan sepi !”
Tim, 12 Juli 1975
Potret Pembangunan dalam Puisi
SAJAK SEORANG TUA DI BAWAH POHON
Oleh :
W.S. Rendra
Inilah sajakku,
seorang tua yang berdiri di
bawah pohon meranggas,
dengan kedua tangan kugendong
di belakang,
dan rokok kretek yang padam
di mulutku.
Aku memandang zaman.
Aku melihat gambaran ekonomi
di etalase toko yang penuh
merk asing,
dan jalan-jalan bobrok antar
desa
yang tidak memungkinkan
pergaulan.
Aku melihat penggarongan dan
pembusukan.
Aku meludah di atas tanah.
Aku berdiri di muka kantor
polisi.
Aku melihat wajah berdarah
seorang demonstran.
Aku melihat kekerasan tanpa
undang-undang.
Dan sebatang jalan panjang,
punuh debu,
penuh kucing-kucing liar,
penuh anak-anak berkudis,
penuh serdadu-serdadu yang
jelek dan menakutkan.
Aku berjalan menempuh
matahari,
menyusuri jalan sejarah
pembangunan,
yang kotor dan penuh
penipuan.
Aku mendengar orang berkata :
"Hak asasi manusia tidak
sama dimana-mana.
Di sini, demi iklim
pembangunan yang baik,
kemerdekaan berpolitik harus
dibatasi.
Mengatasi kemiskinan
meminta pengorbanan sedikit
hak asasi"
Astaga, tahi kerbo apa ini !
Apa disangka kentut bisa
mengganti rasa keadilan ?
Di negeri ini hak asasi
dikurangi,
justru untuk membela yang
mapan dan kaya.
Buruh, tani, nelayan,
wartawan, dan mahasiswa,
dibikin tak berdaya.
O, kepalsuan yang
diberhalakan,
berapa jauh akan bisa
kaulawan kenyataan kehidupan.
Aku mendengar bising
kendaraan.
Aku mendengar pengadilan
sandiwara.
Aku mendengar warta berita.
Ada gerilya kota merajalela
di Eropa.
Seorang cukong bekas kaki
tangan fasis,
seorang yang gigih, melawan
buruh,
telah diculik dan dibunuh,
oleh golongan orang-orang
yang marah.
Aku menatap senjakala di
pelabuhan.
Kakiku ngilu,
dan rokok di mulutku padam
lagi.
Aku melihat darah di langit.
Ya ! Ya ! Kekerasan mulai
mempesona orang.
Yang kuasa serba menekan.
Yang marah mulai mengeluarkan
senjata.
Bajingan dilawan secara
bajingan.
Ya ! Inilah kini kemungkinan
yang mulai menggoda orang.
Bila pengadilan tidak
menindak bajingan resmi,
maka bajingan jalanan yang
akan diadili.
Lalu apa kata nurani
kemanusiaan ?
Siapakah yang menciptakan
keadaan darurat ini ?
Apakah orang harus meneladan
tingkah laku bajingan resmi ?
Bila tidak, kenapa bajingan
resmi tidak ditindak ?
Apakah kata nurani
kemanusiaan ?
O, Senjakala yang menyala !
Singkat tapi menggetarkan
hati !
Lalu sebentar lagi orang akan
mencari bulan dan bintang-bintang !
O, gambaran-gambaran yang
fana !
Kerna langit di badan yang
tidak berhawa,
dan langit di luar dilabur
bias senjakala,
maka nurani dibius tipudaya.
Ya ! Ya ! Akulah seorang tua
!
Yang capek tapi belum
menyerah pada mati.
Kini aku berdiri di
perempatan jalan.
Aku merasa tubuhku sudah
menjadi anjing.
Tetapi jiwaku mencoba menulis
sajak.
Sebagai seorang manusia.
Pejambon, 23 Oktober 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi
SAJAK SEORANG TUA TENTANG BANDUNG LAUTAN API
Oleh :
W.S. Rendra
Bagaimana
mungkin kita bernegara
Bila tidak
mampu mempertahankan wilayahnya
Bagaimana
mungkin kita berbangsa
Bila tidak
mampu mempertahankan kepastian hidup
bersama ?
Itulah
sebabnya
Kami tidak
ikhlas
menyerahkan
Bandung kepada tentara Inggris
dan
akhirnya kami bumi hanguskan kota tercinta itu
sehingga
menjadi lautan api
Kini
batinku kembali mengenang
udara panas
yang bergetar dan menggelombang,
bau asap,
bau keringat
suara
ledakan dipantulkan mega yang jingga, dan kaki
langit
berwarna kesumba
Kami
berlaga
memperjuangkan
kelayakan hidup umat manusia.
Kedaulatan
hidup bersama adalah sumber keadilan merata
yang bisa
dialami dengan nyata
Mana
mungkin itu bisa terjadi
di dalam
penindasan dan penjajahan
Manusia
mana
Akan
membiarkan keturunannya hidup
tanpa
jaminan kepastian ?
Hidup yang
disyukuri adalah hidup yang diolah
Hidup yang
diperkembangkan
dan hidup
yang dipertahankan
Itulah
sebabnya kami melawan penindasan
Kota Bandung
berkobar menyala-nyala tapi kedaulatan
bangsa
tetap terjaga
Kini aku
sudah tua
Aku terjaga
dari tidurku
di tengah
malam di pegunungan
Bau apakah
yang tercium olehku ?
Apakah ini
bau asam medan laga tempo dulu
yang dibawa
oleh mimpi kepadaku ?
Ataukah ini
bau limbah pencemaran ?
Gemuruh
apakah yang aku dengar ini ?
Apakah ini
deru perjuangan masa silam
di tanah
periangan ?
Ataukah
gaduh hidup yang rusuh
karena
dikhianati dewa keadilan.
Aku
terkesiap. Sukmaku gagap. Apakah aku
dibangunkan
oleh mimpi ?
Apakah aku
tersentak
Oleh satu
isyarat kehidupan ?
Di dalam
kesunyian malam
Aku
menyeru-nyeru kamu, putera-puteriku !
Apakah yang
terjadi ?
Darah
teman-temanku
Telah
tumpah di Sukakarsa
Di Dayeuh
Kolot
Di Kiara
Condong
Di setiap
jejak medan laga. Kini
Kami
tersentak,
Terbangun
bersama.
Putera-puteriku,
apakah yang terjadi?
Apakah kamu
bisa menjawab pertanyaan kami ?
Wahai
teman-teman seperjuanganku yang dulu,
Apakah kita
masih sama-sama setia
Membela
keadilan hidup bersama
Manusia
dari setiap angkatan bangsa
Akan
mengalami saat tiba-tiba terjaga
Tersentak
dalam kesendirian malam yang sunyi
Dan
menghadapi pertanyaan jaman :
Apakah yang
terjadi ?
Apakah yang
telah kamu lakukan ?
Apakah yang
sedang kamu lakukan ?
Dan, ya,
hidup kita yang fana akan mempunyai makna
Dari
jawaban yang kita berikan.
Sajak-sajak : Rendra, Sutardji Calzoum Bachri
pada Hari Kebangkitan Nasional 1990
SAJAK SEORANG TUA UNTUK ISTERINYA
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang
Dan juga masa depan kita
yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.
Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita
Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah istimewa
kerna setiap orang mengalaminya.
Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahasia langit dan samodra,
serta mencipta dan mengukir dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
Tetapi demi kehormatan seorang manusia.
Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu
meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorangpun kuasa
menghapusnya.
Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.
Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,
nasib, dan kehidupan.
Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak
menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kaukenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa kita ditantang seratus dewa.
WS. Rendra, Sajak-sajak sepatu tua,1972
SAJAK TANGAN
Oleh :
W.S. Rendra
Inilah tangan seorang mahasiswa,
tingkat sarjana muda.
Tanganku. Astaga.
Tanganku menggapai,
yang terpegang anderox hostes berumbai,
Aku bego. Tanganku lunglai.
Tanganku mengetuk pintu,
tak ada jawaban.
Aku tendang pintu,
pintu terbuka.
Di balik pintu ada lagi pintu.
Dan selalu :
ada tulisan jam bicara
yang singkat batasnya.
Aku masukkan tangan-tanganku ke celana
dan aku keluar mengembara.
Aku ditelan Indonesia Raya.
Tangan di dalam kehidupan
muncul di depanku.
Tanganku aku sodorkan.
Nampak asing di antara tangan beribu.
Aku bimbang akan masa depanku.
Tangan petani yang berlumpur,
tangan nelayan yang bergaram,
aku jabat dalam tanganku.
Tangan mereka penuh pergulatan
Tangan-tangan yang menghasilkan.
Tanganku yang gamang
tidak memecahkan persoalan.
Tangan cukong,
tangan pejabat,
gemuk, luwes, dan sangat kuat.
Tanganku yang gamang dicurigai,
disikat.
Tanganku mengepal.
Ketika terbuka menjadi cakar.
Aku meraih ke arah delapan penjuru.
Di setiap meja kantor
bercokol tentara atau orang tua.
Di desa-desa
para petani hanya buruh tuan tanah.
Di pantai-pantai
para nelayan tidak punya kapal.
Perdagangan berjalan tanpa swadaya.
Politik hanya mengabdi pada cuaca…..
Tanganku mengepal.
Tetapi tembok batu didepanku.
Hidupku tanpa masa depan.
Kini aku kantongi tanganku.
Aku berjalan mengembara.
Aku akan menulis kata-kata kotor
di meja rektor
TIM, 3 Juli 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi
SAJAK WIDURI UNTUK JOKI TOBING
Oleh :
W.S. Rendra
Debu
mengepul mengolah wajah tukang-tukang parkir.
Kemarahan mengendon di dalam kalbu purba.
Orang-orang
miskin menentang kemelaratan.
Wahai, Joki Tobing, kuseru kamu,
kerna
wajahmu muncul dalam mimpiku.
Wahai, Joki Tobing, kuseru kamu
karena terlibat aku di dalam napasmu.
Dari
bis kota ke bis kota
kamu
memburuku.
Kita
duduk bersandingan,
menyaksikan hidup yang kumal.
Dan
perlahan tersirap darah kita,
melihat sekuntum bunga telah mekar,
dari
puingan masa yang putus asa.
Nusantara Film, Jakarta, 9 Mei
1977
Potret Pembangunan dalam Puisi
TAHANAN
Oleh :
W.S. Rendra
Atas ranjang batu
tubuhnya panjang
bukit barisan tanpa bulan
kabur dan liat
dengan mata sepikan terali
Di lorong-lorong
jantung matanya
para pemuda bertangan merah
serdadu-serdadu Belanda rebah
Di mulutnya menetes
lewat mimpi
darah di cawan tembikar
dijelmakan satu senyum
barat di perut gunung
(Para pemuda bertangan merah
adik lelaki neruskan dendam)
Dini hari bernyanyi
di luar dirinya
Anak lonceng
menggeliat enam kali
di perut ibunya
Mendadak
dipejamkan matanya
Sipir memutar kunci selnya
dan berkata
-He, pemberontak
hari yang berikut bukan milikmu !
Diseret di muka peleton algojo
ia meludah
tapi tak dikatakannya
-Semalam kucicip sudah
betapa lezatnya madu darah.
Dan tak pernah didengarnya
enam pucuk senapan
meletus bersama
Kisah
Th VI, No 11
Nopember 1956
----------------------------
Rumpun Alang-alang
Engkaulah perempuan terkasih, yang sejenak
kulupakan, sayang
Kerna dalam sepi yang jahat tumbuh alang-alang
di hatiku yang malang
Di hatiku alang-alang menancapkan akar-akarnya
yang gatal
Serumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal
Gelap dan bergoyang ia
dan ia pun berbunga dosa
Engkau tetap yang punya
tapi alang-alang tumbuh di dada
Surat Cinta
Kutulis surat ini
kala hujan gerimis bagai bunyi tambur yang gaib,
Dan angin mendesah
mengeluh dan mendesah,
Wahai, dik Narti,
aku cinta kepadamu !
Kutulis surat ini
kala langit menangis
dan dua ekor belibis
bercintaan dalam kolam
bagai dua anak nakal
jenaka dan manis
mengibaskan ekor
serta menggetarkan bulu-bulunya,
Wahai, dik Narti,
kupinang kau menjadi istriku !
Kaki-kaki hujan yang runcing
menyentuhkan ujungnya di bumi,
Kaki-kaki cinta yang tegas
bagai logam berat gemerlapan
menempuh ke muka
dan tak kan kunjung diundurkan.
Selusin malaikat
telah turun
di kala hujan gerimis
Di muka kaca jendela
mereka berkaca dan mencuci rambutnya
untuk ke pesta.
Wahai, dik Narti
dengan pakaian pengantin yang anggun
bunga-bunga serta keris keramat
aku ingin membimbingmu ke altar
untuk dikawinkan
Aku melamarmu,
Kau tahu dari dulu :
tiada lebih buruk
dan tiada lebih baik
dari yang lain ......
penyair dari kehidupan sehari-hari,
orang yang bermula dari kata
kata yang bermula dari
kehidupan, pikir dan rasa.
Semangat kehidupan yang kuat
bagai berjuta-juta jarum alit
menusuki kulit langit :
kantong rejeki dan restu wingit
Lalu tumpahlah gerimis
Angin dan cinta
mendesah dalam gerimis.
Semangat cintaku yang kuta
batgai seribu tangan gaib
menyebarkan seribu jaring
menyergap hatimu
yang selalu tersenyum padaku.
Engkau adalah putri duyung
tawananku
Putri duyung dengan
suara merdu lembut
bagai angin laut,
mendesahlah bagiku !
Angin mendesah
selalu mendesah
dengan ratapnya yang merdu.
Engkau adalah putri duyung
tergolek lemas
mengejap-ngejapkan matanya yang indah
dalam jaringku
Wahai, putri duyung,
aku menjaringmu
aku melamarmu
Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
kerna langit
gadis manja dan manis
menangis minta mainan.
Dua anak lelaki nakal
bersenda gurau dalam selokan
dan langit iri melihatnya
Wahai, Dik Narti
kuingin dikau
menjadi ibu anak-anakku !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar