Rabu, 04 Desember 2013

Puisi "Kliwon" karya Romli Burhani



Kliwon

Yaasin, walquranil hakim. Innaka la minalmursaliin
‘Alaa shiraatim mushtaqiim.Tanziilal ‘aziizirrahiim

Seorang di malam kliwon menatapku, sepertinya aku mengenalmu.
Sampai air mata memerihkan dan memburamkan pandanganku, aku pernah mengenalmu.

Maka, pada pertemuan malam itu, kau mendekapku dalam peluk kamboja.
Hangat dan mistis.
Entahlah, wirid apa yang kau tuangkan ke telingaku, menjalar melewati
darah, daging, dan membeku batu di setengah kepalaku.
Seperti legenda Sangkuriang atau mantra moyang
 “Tong diuk na lawang panto, bisi nontot jodo”.Mengerikan, mengasyikan.
Bahkan pada lukisan Picasso tak kutemukan bahasa itu, serupa akar  yang menerobos tubuh
bumi,tanpa ampunan, tanpa perasaan, tanpa buruh dari majikan atau kabinet pemerintahan.

Kemudian ia menjelma lagu di malam syahdu, iringan untuk tangisan  yang  juga syahdu.
“Laailaaha illallah, Laailaaha illallah, Laailaaha illallah”.
Sekali lagi mantra lain yang kudengar sebagai sebuah repetisi keyakinan, lebih terlihat seperti
aroma sihir yang membuat bulu kuduk di sekujur tubuhku mengejang. Mengerang dan menjerit.
Seolah mereka berkata “Hentikan! hentikan! Diam! Diam!”.

Namun malam itu, kekasihku, di ruangan setengah redup, lampu bohlam yang redup.
Segalanya tiba-tiba menjadi tuli, menjadi tuli.
“Sudah kukatakan, hendaknya kau segera diam!
segera pergi, dan bawa sekalian keranjang ibumu!”.
“Lihatlah, dia akan segera pergi,
apa kau tak mau menciumi tubuhnya?,
atau kau ajak dia ke kamarmu, dan segera bermain
dengan sajak-sajak kecilmu di ranjang”.
“Baiklah” jawabku ”Tapi setelah ini kau benar-benar harus pergi!”.
Tapi kaki keranda gugup, seolah itu adalah kencan pertamanya, sebelum akhirnya ia harus berhenti di gudang atau selasar mesjid. Melamunkan tentang siapa lagi yang akan melacurinya, meniduri tubuhnya, kemudian menyesali perjalanannya.
Mei 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar