Kliwon
Yaasin,
walquranil hakim. Innaka la minalmursaliin
‘Alaa
shiraatim mushtaqiim.Tanziilal ‘aziizirrahiim
Seorang
di malam kliwon menatapku, sepertinya aku mengenalmu.
Sampai
air mata memerihkan dan memburamkan pandanganku, aku pernah mengenalmu.
Maka,
pada pertemuan malam itu, kau mendekapku dalam peluk kamboja.
Hangat
dan mistis.
Entahlah,
wirid apa yang kau tuangkan ke telingaku, menjalar melewati
darah,
daging, dan membeku batu di setengah kepalaku.
Seperti
legenda Sangkuriang atau mantra moyang
“Tong
diuk na lawang panto, bisi nontot jodo”.Mengerikan, mengasyikan.
Bahkan
pada lukisan Picasso tak kutemukan bahasa itu, serupa akar yang
menerobos tubuh
bumi,tanpa
ampunan, tanpa perasaan, tanpa buruh dari majikan atau kabinet pemerintahan.
Kemudian
ia menjelma lagu di malam syahdu, iringan untuk tangisan yang juga
syahdu.
“Laailaaha
illallah, Laailaaha illallah, Laailaaha illallah”.
Sekali
lagi mantra lain yang kudengar sebagai sebuah repetisi keyakinan, lebih
terlihat seperti
aroma
sihir yang membuat bulu kuduk di sekujur tubuhku mengejang. Mengerang dan
menjerit.
Seolah
mereka berkata “Hentikan! hentikan! Diam! Diam!”.
Namun
malam itu, kekasihku, di ruangan setengah redup, lampu bohlam yang redup.
Segalanya
tiba-tiba menjadi tuli, menjadi tuli.
“Sudah
kukatakan, hendaknya kau segera diam!
segera
pergi, dan bawa sekalian keranjang ibumu!”.
“Lihatlah,
dia akan segera pergi,
apa kau
tak mau menciumi tubuhnya?,
atau kau
ajak dia ke kamarmu, dan segera bermain
dengan
sajak-sajak kecilmu di ranjang”.
“Baiklah”
jawabku ”Tapi setelah ini kau benar-benar harus pergi!”.
Tapi kaki
keranda gugup, seolah itu adalah kencan pertamanya, sebelum akhirnya ia harus
berhenti di gudang atau selasar mesjid. Melamunkan tentang siapa lagi yang akan
melacurinya, meniduri tubuhnya, kemudian menyesali perjalanannya.
Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar