Hilangnya Budaya Literasi Mahasiswa
Aku mengenali mereka
Yang tanpa tentara mau berperang melawan diktator
Dan yang tanpa uang mau memberantas korupsi
Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?
Potongan sajak “Pesan”, Soe Hok Gie
(sebelum Soe Hok Gie meninggal)
Mahasiswa menduduki peran yang amat penting bagi kemajuan bangsa
Indonesia dalam berbagai aspek salah satunya adalah mahasiswa berperan
sebagai penyalur aspirasi rakyat melalui pergerakannya menghadapi
polemik yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perlu
diketahui gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan
yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk
meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para
aktivis yang terlibat di dalamnya.
Bisa kita lihat bagaimana sejarah membuktikan tentang peran mahasiswa
sebagai salah satu tonggak lajunya kehidupan bangsa Indonesia. Pada
pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam
Indonesische Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan
Indonesia) kembali ke tanah air. Mereka membentuk kelompok studi yang
dikenal amat berpengaruh pada saat itu. Pertama, adalah Kelompok Studi
Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada
tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum
(Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan
mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno
pada tanggal 11 Juli 1925.Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi
Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar
Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen
gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun 1926, Kelompok Studi
St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke
Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten Islam
Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun 1930-an. Dari
kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda
itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia yang memunculkan Sumpah
Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui
Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober 1928,
dimotori oleh PPPI.
Kemudian pada tahun 1945 Mahasiswa yang pada saat itu terpaksa ikut
dalam kasus gerakan kelompok bawah tanah yang antara lain dipimpin oleh
Chairul Saleh dan Soekarni, terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan
Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan Indonesia yang
akhirnya bangsa Indonesia hingga saat ini dapat menikmati kemerdekaan
yang telah mereka perjuangkan. Peristiwa ini dikenal kemudian dengan
peristiwa Rengasdengklok. Kemudian beberapa tahun kemudian, antara tahun
1965-1966 mahasiswa kembali berperan. Pada tanggal 25 Oktober 1966
mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang
merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil
dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP)
Mayjen dr. Syarief Thayeb, yakni PMKRI, HMI, PMII, Gerakan Mahasiswa
Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi
Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa
(IPMI). Tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa dalam
melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan
memiliki kepemimpinan. Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi lainnya,
seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda
Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan
lain-lain. Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia
banyak terlibat dalam perjuangan dalam mendirikan Orde Baru. Gerakan ini
dikenal dengan istilah Angkatan '66, yang menjadi awal kebangkitan
gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan
mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu
adalah mereka yang kemudian berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru, di
antaranya Cosmas Batubara (Eks Ketua Presidium KAMI Pusat), Sofyan
Wanandi, Yusuf Wanandi ketiganya dari PMKRI,Akbar Tanjung dari HMI dll.
Angkatan '66 mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten negara. Gerakan
ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa
menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia).
Setelah Orde Lama berakhir, aktivis Angkatan '66 pun mendapat hadiah
yaitu dengan banyak yang duduk di kursi DPR/MPR serta diangkat dalam
kabibet pemerintahan Orde Baru.
Berbeda dengan yang terjadi pada tahun 1966 yang pada saat itu para
mahasiswa begitu erat dengan militer maka generasi mahasiswa pada tahun
1974 mengalami konfrontasi dengan militer. Pada tahun ini antara
mahasiswa dan militer benar-benar terjadi chaos. Sebelum menginjak awal
1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan
koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru. Diawali dengan
reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes
lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan
pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut gerakan
"Mahasiswa Menggugat" yang dimotori Arif Budiman yang progaram utamanya
adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM, dan korupsi. Protes terus
berlanjut. Tahun 1972, dengan isu harga beras naik, berikutnya tahun
1973 selalu diwarnai dengan isu korupsi sampai dengan meletusnya
demonstrasi memprotes PM Jepang Kakuei Tanaka yang datang ke Indonesia
dan peristiwa Malari pada 15 Januari 1974. Gerakan mahasiswa di Jakarta
meneriakan isu "Ganyang Korupsi" sebagai salah satu tuntutan "Tritura
Baru" disamping dua tuntutan lainnya Bubarkan Asisten Pribadi dan
Turunkan Harga; sebuah versi terakhir Tritura yang muncul setelah versi
koran Mahasiswa Indonesia di Bandung sebelumnya. Gerakan ini berbuntut
dihapuskannya jabatan Asisten Pribadi Presiden.
Tahun 1977-1978 muncul kembali pergerakan Mahasiswa yang begitu dahsyat.
Pada tanggal 28 Oktober 1977, delapan ribu anak muda berkumpul di depan
kampus ITB. Mereka berikrar satu suara, "Turunkan Suharto!". Besoknya,
semua yang berteriak, raib ditelan terali besi. Kampus segera berstatus
darurat perang. Namun, sekejap kembali tentram. 10 November 1977, di
Surabaya dipenuhi tiga ribu jiwa muda. Setelah peristiwa di ITB pada
Oktober 1977, giliran Kampus ITS Baliwerti beraksi. Dengan semangat
pahlawan, berbagai pimpinan mahasiswa se-Jawa hadir memperingati hari
Pahlawan 1977. Seribu mahasiswa berkumpul, kemudian berjalan kaki dari
Baliwerti menuju Tugu Pahlawan. Sementara di kota-kota lain, peringatan
hari Pahlawan juga semarak. Di Jakarta, 6000 mahasiswa berjalan kaki
lima kilometer dari Rawamangun (kampus IKIP) menuju Salemba (kampus UI),
membentangkan spanduk,"Padamu Pahlawan Kami Mengadu". Juga dengan
pengawalan ketat tentara. Peringatan 12 tahun Tritura, 10 Januari 1978,
peringatan 12 tahun Tritura itu jadi awal sekaligus akhir. Penguasa
menganggap mahasiswa sudah di luar toleransi. Dimulailah penyebaran
benih-benih teror dan pengekangan. Sejak awal 1978, 200 aktivis
mahasiswa ditahan tanpa sebab. Bukan hanya dikurung, sebagian mereka
diintimidasi lewat interogasi. Banyak yang dipaksa mengaku pemberontak
negara. Tentara pun tidak sungkan lagi masuk kampus. Berikutnya, ITB
kedatangan pria loreng bersenjata. Rumah rektornya secara misterius
ditembaki orang tak dikenal. Di UI, panser juga masuk kampus. Wajah
mereka garang, lembaga pendidikan sudah menjadi medan perang. Kemudian
hari, dua rektor kampus besar itu secara semena-mena dicopot dari
jabatannya. Alasannya, terlalu melindungi anak didiknya yang keras
kepala. Di ITS, delapan fungsionaris DM masuk "daftar dicari" Detasemen
Polisi Militer. Sepulang aksi dari Jakarta, di depan kos mereka sudah
ditunggui sekompi tentara. Rektor ITS waktu itu, Prof Mahmud Zaki,
ditekan langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk segera
membubarkan aksi dan men-drop out para pelakunya. Sikap rektor seragam,
sebisa mungkin ia melindungi anak-anaknya. Beberapa berhasil tertangkap,
sisanya bergerilya dari satu rumah ke rumah lain. Dalam proses
tersebut, mahasiswa tetap "bergerak". Selama masih ada wajah yang aman
dari daftar, mereka tetap konsolidasi, sembunyi-sembunyi. Pergolakan
kampus masih panas, walau Para Rektor berusaha menutupi, intelejen masih
bisa membaca jelas.
Puncak dari peranan mahasiswa dalam beberapa dekade terjadi pada tahun
1998 yang pada saat itu para mahasiswa menuntut reformasi dan
dihapuskannya "KKN" (korupsi, kolusi dan nepotisme) , lewat pendudukan
gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden Soeharto
melepaskan jabatannya. Berbagai tindakan represif yang menewaskan
aktivis mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan ini di
antaranya: Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti,
Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi Lampung. Gerakan ini terus berlanjut
hingga pemilu 1999.
***
Beberapa pergerakan para mahasiswa tersebut bukanlah tanpa didasari
dengan pengorbanan dan pemikiran yang kuat. Para mahasiswa pada saat itu
benar-benar berusaha keras untuk memperjuangkan segala sesuatu yang
memang seharusnya menjadi hak seluruh rakyat indonesia. Mereka berjihad
melawan segala ketidakadilan yang serta merta merugikan dan menganiaya
rakyatt kecil. Sehingga Soe Hok Gie berkata dalam sajaknya “Aku
mengenali mereka/ Yang tanpa tentara mau berperang melawan diktator/Dan
yang tanpa uang mau memberantas korupsi//Kawan-kawan/Kuberikan padamu
cintaku/Dan maukah kau berjabat tangan/Selalu dalam hidup ini?”. Akan
tetapi apa yang terjadi dengan kondisi pergerakan mahasiswa hari ini?.
Terlebih pemikiran yang berlaku dalam kehidupan para mahasiswa hari ini.
Jika kita telaah kembali mengenai perkembangan yang terjadi dalam dunia
pendidikan di tingkat tinggi dalam hal ini mahasiswa sebagai tokoh
pergerakan di Indonesia maka patutlah kita selaku bangsa Indonesia
merasa miris. Jika dahulu para mahasiswa yang berkumpul di warung-warung
kopi berdiskusi secara matang tentang pergerakan yang harus dilakukan
demi memperjuangkan hak rakyat Indonesia maka hari ini berbeda, para
mahasiswa berkumpul, nongkrong dan mengobrol di kafe-kafe, warung kopi
dan di taman-taman kampus membicarakan fashion, lifestyle dan seks
bebas. Inilah yang mayoritas terjadi di lingkungan mahasiswa saat ini.
Mahasiswa tidak lagi dianggap sebagai pencetus pergerakan rakyat
Indonesia. Entah apa yang menjadi penyebab utama dari jatuhnya moral
bangsa pada saat ini. Seperti halnya yang terjadi di Yogyakarta sebuah
kota yang selama ini kita kenal sebagai kota pelajar, ternyata mayoritas
Mahasiswi disana sudah tidak perawan lagi. Bahkan salah seorang
mahasiswi yang kuliah di salah satu PTS di Yogyakarta mengatakan
“Masalah keperawanan di Yogyakarta sudah tidak menjadi hal yang patut
dipertahankan. Sebaliknya, setiap kali berbicara dengan teman-teman,
semua orang selalu membicarakan soal seks, soal hubungan dengan
pacar-pacarnya atau mantan-mantannya. Bahwa ‘saya sudah tidur dengan si A
atau si B', merupakan suatu kebanggan”. Hal ini menunjukkan bahwa
kehidupan di kampus telash menuai berbagai efek negatif, tidak sedikit
dari mereka yang malah menjadi seorang PSK. Fenomena mahasiswi yang
menjadi pekerja seks komersial atau biasa disebut ayam kampus ditemukan
di Kota Makassar. Pada tahun 2005, peneliti Balai Pelestarian Nilai
Budaya Makassar, Disana ditemukan sejumlah pengakuan dari beberapa
mahasiswi. Tidak semua mahasiswi yang terjun menjadi ayam kampus karena
alasan kebutuhan ekonomi. Tapi sebagian di antaranya mengaku menjadi
ayam kampus karena tidak mampu menahan desakan biologisnya. Melihat
fenomena yang terjadi saat ini, maka apa tindakan yang harus kita
lakukan sebagai generasi penerus bangsa Indonesia.
Beralih dari masalah ayam kampus di atas, kita lihat pergerakan
mahasiswa saat ini. Ideologi pergerakan mahasiswa pada masa kekinian
telah mengalami kemunduran yang cukup telak. Tidak bisa dipungkiri
generasi-generasi muda saat ini telah mendapatan berbagai pengaruh
globalisasi. Para aktivis mahasiswa mengalami krisis ideologi. Hal ini
disebabkan karena berkurangnya atau melemahnya budaya literasi dalam
lingkungan mahasiswa. Budaya literasi merupakan hal yang amat penting,
sebab dari sinilah munculnya pikiran-pikiran kritis guna menghadapi
setiap masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Budaya literasi yakni budaya membaca, menulis dan diskusi.
Seorang aktivis mahasiswa seharusnya memiliki daya baca yang kuat sebab
dengan membaca akan muncul pemikiran-pemikiran yang kritis mengenai
lingkungan di sekitarnya. Seorang aktivis mahasiswa juga seharusnya
dapat menuangkan pikiran-pikirannya melalui tulisan agar ide-ide
mengenai permasalahan sosial yang dianggap dapat memberikan kesadaran
bagi mahasiswa dan masyarakat itu dapat disebarkan melalui media-media
cetak. Terakhir adalah budaya diskusi, setelah seorang aktivis mahasiswa
telah memiliki kemampuan membaca dan menulisan pikiran-pikirannya maka
seorang mahasiswa dituntut untu mengantarkannya kedalam sebuah forum
diskusi. Entah itu sebuah diskusi santai di warung-warung kopi atau
diangkat dalam sebuah diskusi yang lebih formal. Namun, pada
kenyataannya, hari ini mayoritas mahasiswa dan para kativis hanya
mementingkan kepentingan golongannya masing-masing, tida sedikit para
aktivis dari stu golongan dengan golongan yang lain mengalami clash.
Selebihnya seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa gerakan
mahasiswa pada masa kekinian telah mengalami kemunduran. Hal ini
terbukti dengan hilangnya budaya literasi yang kemudian dihancurkan oleh
budaya lifestyle, fashion dan seks bebas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar