Minggu, 08 Desember 2013

Esai "Hilangnya Budaya Literasi Mahasiswa" (Radar Tasikmalaya, 8/12/2013)


Hilangnya Budaya Literasi Mahasiswa 

Aku mengenali mereka
Yang tanpa tentara mau berperang melawan diktator
Dan yang tanpa uang mau memberantas korupsi
Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?
Potongan sajak “Pesan”, Soe Hok Gie
(sebelum Soe Hok Gie meninggal)

Mahasiswa menduduki peran yang amat penting bagi kemajuan bangsa Indonesia dalam berbagai aspek salah satunya adalah mahasiswa berperan sebagai penyalur aspirasi rakyat melalui pergerakannya menghadapi polemik yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perlu diketahui gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya. Bisa kita lihat bagaimana sejarah membuktikan tentang peran mahasiswa sebagai salah satu tonggak lajunya kehidupan bangsa Indonesia. Pada pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah air. Mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh pada saat itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun 1926, Kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun 1930-an. Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia yang memunculkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober 1928, dimotori oleh PPPI. Kemudian pada tahun 1945 Mahasiswa yang pada saat itu terpaksa ikut dalam kasus gerakan kelompok bawah tanah yang antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni, terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan Indonesia yang akhirnya bangsa Indonesia hingga saat ini dapat menikmati kemerdekaan yang telah mereka perjuangkan. Peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa Rengasdengklok. Kemudian beberapa tahun kemudian, antara tahun 1965-1966 mahasiswa kembali berperan. Pada tanggal 25 Oktober 1966 mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb, yakni PMKRI, HMI, PMII, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI). Tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan. Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain. Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan dalam mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan '66, yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah mereka yang kemudian berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru, di antaranya Cosmas Batubara (Eks Ketua Presidium KAMI Pusat), Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi ketiganya dari PMKRI,Akbar Tanjung dari HMI dll. Angkatan '66 mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Setelah Orde Lama berakhir, aktivis Angkatan '66 pun mendapat hadiah yaitu dengan banyak yang duduk di kursi DPR/MPR serta diangkat dalam kabibet pemerintahan Orde Baru. Berbeda dengan yang terjadi pada tahun 1966 yang pada saat itu para mahasiswa begitu erat dengan militer maka generasi mahasiswa pada tahun 1974 mengalami konfrontasi dengan militer. Pada tahun ini antara mahasiswa dan militer benar-benar terjadi chaos. Sebelum menginjak awal 1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru. Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut gerakan "Mahasiswa Menggugat" yang dimotori Arif Budiman yang progaram utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM, dan korupsi. Protes terus berlanjut. Tahun 1972, dengan isu harga beras naik, berikutnya tahun 1973 selalu diwarnai dengan isu korupsi sampai dengan meletusnya demonstrasi memprotes PM Jepang Kakuei Tanaka yang datang ke Indonesia dan peristiwa Malari pada 15 Januari 1974. Gerakan mahasiswa di Jakarta meneriakan isu "Ganyang Korupsi" sebagai salah satu tuntutan "Tritura Baru" disamping dua tuntutan lainnya Bubarkan Asisten Pribadi dan Turunkan Harga; sebuah versi terakhir Tritura yang muncul setelah versi koran Mahasiswa Indonesia di Bandung sebelumnya. Gerakan ini berbuntut dihapuskannya jabatan Asisten Pribadi Presiden. Tahun 1977-1978 muncul kembali pergerakan Mahasiswa yang begitu dahsyat. Pada tanggal 28 Oktober 1977, delapan ribu anak muda berkumpul di depan kampus ITB. Mereka berikrar satu suara, "Turunkan Suharto!". Besoknya, semua yang berteriak, raib ditelan terali besi. Kampus segera berstatus darurat perang. Namun, sekejap kembali tentram. 10 November 1977, di Surabaya dipenuhi tiga ribu jiwa muda. Setelah peristiwa di ITB pada Oktober 1977, giliran Kampus ITS Baliwerti beraksi. Dengan semangat pahlawan, berbagai pimpinan mahasiswa se-Jawa hadir memperingati hari Pahlawan 1977. Seribu mahasiswa berkumpul, kemudian berjalan kaki dari Baliwerti menuju Tugu Pahlawan. Sementara di kota-kota lain, peringatan hari Pahlawan juga semarak. Di Jakarta, 6000 mahasiswa berjalan kaki lima kilometer dari Rawamangun (kampus IKIP) menuju Salemba (kampus UI), membentangkan spanduk,"Padamu Pahlawan Kami Mengadu". Juga dengan pengawalan ketat tentara. Peringatan 12 tahun Tritura, 10 Januari 1978, peringatan 12 tahun Tritura itu jadi awal sekaligus akhir. Penguasa menganggap mahasiswa sudah di luar toleransi. Dimulailah penyebaran benih-benih teror dan pengekangan. Sejak awal 1978, 200 aktivis mahasiswa ditahan tanpa sebab. Bukan hanya dikurung, sebagian mereka diintimidasi lewat interogasi. Banyak yang dipaksa mengaku pemberontak negara. Tentara pun tidak sungkan lagi masuk kampus. Berikutnya, ITB kedatangan pria loreng bersenjata. Rumah rektornya secara misterius ditembaki orang tak dikenal. Di UI, panser juga masuk kampus. Wajah mereka garang, lembaga pendidikan sudah menjadi medan perang. Kemudian hari, dua rektor kampus besar itu secara semena-mena dicopot dari jabatannya. Alasannya, terlalu melindungi anak didiknya yang keras kepala. Di ITS, delapan fungsionaris DM masuk "daftar dicari" Detasemen Polisi Militer. Sepulang aksi dari Jakarta, di depan kos mereka sudah ditunggui sekompi tentara. Rektor ITS waktu itu, Prof Mahmud Zaki, ditekan langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk segera membubarkan aksi dan men-drop out para pelakunya. Sikap rektor seragam, sebisa mungkin ia melindungi anak-anaknya. Beberapa berhasil tertangkap, sisanya bergerilya dari satu rumah ke rumah lain. Dalam proses tersebut, mahasiswa tetap "bergerak". Selama masih ada wajah yang aman dari daftar, mereka tetap konsolidasi, sembunyi-sembunyi. Pergolakan kampus masih panas, walau Para Rektor berusaha menutupi, intelejen masih bisa membaca jelas. Puncak dari peranan mahasiswa dalam beberapa dekade terjadi pada tahun 1998 yang pada saat itu para mahasiswa menuntut reformasi dan dihapuskannya "KKN" (korupsi, kolusi dan nepotisme) , lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya. Berbagai tindakan represif yang menewaskan aktivis mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan ini di antaranya: Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi Lampung. Gerakan ini terus berlanjut hingga pemilu 1999. *** Beberapa pergerakan para mahasiswa tersebut bukanlah tanpa didasari dengan pengorbanan dan pemikiran yang kuat. Para mahasiswa pada saat itu benar-benar berusaha keras untuk memperjuangkan segala sesuatu yang memang seharusnya menjadi hak seluruh rakyat indonesia. Mereka berjihad melawan segala ketidakadilan yang serta merta merugikan dan menganiaya rakyatt kecil. Sehingga Soe Hok Gie berkata dalam sajaknya “Aku mengenali mereka/ Yang tanpa tentara mau berperang melawan diktator/Dan yang tanpa uang mau memberantas korupsi//Kawan-kawan/Kuberikan padamu cintaku/Dan maukah kau berjabat tangan/Selalu dalam hidup ini?”. Akan tetapi apa yang terjadi dengan kondisi pergerakan mahasiswa hari ini?. Terlebih pemikiran yang berlaku dalam kehidupan para mahasiswa hari ini. Jika kita telaah kembali mengenai perkembangan yang terjadi dalam dunia pendidikan di tingkat tinggi dalam hal ini mahasiswa sebagai tokoh pergerakan di Indonesia maka patutlah kita selaku bangsa Indonesia merasa miris. Jika dahulu para mahasiswa yang berkumpul di warung-warung kopi berdiskusi secara matang tentang pergerakan yang harus dilakukan demi memperjuangkan hak rakyat Indonesia maka hari ini berbeda, para mahasiswa berkumpul, nongkrong dan mengobrol di kafe-kafe, warung kopi dan di taman-taman kampus membicarakan fashion, lifestyle dan seks bebas. Inilah yang mayoritas terjadi di lingkungan mahasiswa saat ini. Mahasiswa tidak lagi dianggap sebagai pencetus pergerakan rakyat Indonesia. Entah apa yang menjadi penyebab utama dari jatuhnya moral bangsa pada saat ini. Seperti halnya yang terjadi di Yogyakarta sebuah kota yang selama ini kita kenal sebagai kota pelajar, ternyata mayoritas Mahasiswi disana sudah tidak perawan lagi. Bahkan salah seorang mahasiswi yang kuliah di salah satu PTS di Yogyakarta mengatakan “Masalah keperawanan di Yogyakarta sudah tidak menjadi hal yang patut dipertahankan. Sebaliknya, setiap kali berbicara dengan teman-teman, semua orang selalu membicarakan soal seks, soal hubungan dengan pacar-pacarnya atau mantan-mantannya. Bahwa ‘saya sudah tidur dengan si A atau si B', merupakan suatu kebanggan”. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan di kampus telash menuai berbagai efek negatif, tidak sedikit dari mereka yang malah menjadi seorang PSK. Fenomena mahasiswi yang menjadi pekerja seks komersial atau biasa disebut ayam kampus ditemukan di Kota Makassar. Pada tahun 2005, peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar, Disana ditemukan sejumlah pengakuan dari beberapa mahasiswi. Tidak semua mahasiswi yang terjun menjadi ayam kampus karena alasan kebutuhan ekonomi. Tapi sebagian di antaranya mengaku menjadi ayam kampus karena tidak mampu menahan desakan biologisnya. Melihat fenomena yang terjadi saat ini, maka apa tindakan yang harus kita lakukan sebagai generasi penerus bangsa Indonesia. Beralih dari masalah ayam kampus di atas, kita lihat pergerakan mahasiswa saat ini. Ideologi pergerakan mahasiswa pada masa kekinian telah mengalami kemunduran yang cukup telak. Tidak bisa dipungkiri generasi-generasi muda saat ini telah mendapatan berbagai pengaruh globalisasi. Para aktivis mahasiswa mengalami krisis ideologi. Hal ini disebabkan karena berkurangnya atau melemahnya budaya literasi dalam lingkungan mahasiswa. Budaya literasi merupakan hal yang amat penting, sebab dari sinilah munculnya pikiran-pikiran kritis guna menghadapi setiap masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Budaya literasi yakni budaya membaca, menulis dan diskusi. Seorang aktivis mahasiswa seharusnya memiliki daya baca yang kuat sebab dengan membaca akan muncul pemikiran-pemikiran yang kritis mengenai lingkungan di sekitarnya. Seorang aktivis mahasiswa juga seharusnya dapat menuangkan pikiran-pikirannya melalui tulisan agar ide-ide mengenai permasalahan sosial yang dianggap dapat memberikan kesadaran bagi mahasiswa dan masyarakat itu dapat disebarkan melalui media-media cetak. Terakhir adalah budaya diskusi, setelah seorang aktivis mahasiswa telah memiliki kemampuan membaca dan menulisan pikiran-pikirannya maka seorang mahasiswa dituntut untu mengantarkannya kedalam sebuah forum diskusi. Entah itu sebuah diskusi santai di warung-warung kopi atau diangkat dalam sebuah diskusi yang lebih formal. Namun, pada kenyataannya, hari ini mayoritas mahasiswa dan para kativis hanya mementingkan kepentingan golongannya masing-masing, tida sedikit para aktivis dari stu golongan dengan golongan yang lain mengalami clash. Selebihnya seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa gerakan mahasiswa pada masa kekinian telah mengalami kemunduran. Hal ini terbukti dengan hilangnya budaya literasi yang kemudian dihancurkan oleh budaya lifestyle, fashion dan seks bebas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar