Sabtu, 14 Desember 2013

Puisi "In Loving Memory" karya Romli Burhani

In Loving Memory 

Dan setelah perjanjian baru. Getaran berubah biru lalu wajahmu

memucat salju. Aku yang datang dan tak sempat menghapal namamu
Seperti cerita dalam drama yang tak usai. Kau tiba dan tiba-tiba
pergi dan tiada. Pupus dan hangus serupa debu di beranda

"Siapakah yang akan menjagamu, ketika kita sama-sama terlelap?"
kataku pada fulan "Sedang kita tak pernah benar-benar saling berucap"

Cinta hanya akan menjadi bom waktu. Lahap dan tamak
Sebuah sajak tak berarti apa-apa. Drama tanpa babak
dan musik blues tak lagi jadi doa, lagi jadi doa

Aku tahu, Sejak pertemuan kita tempo hari, di sebuah kapal
Kalimat yang tertinggal seperti suaramu yang kekal

Kemudian akan tibalah kita pada perubahan yang baka
Kemudian kau dan aku akan serupa pagi dan cakrawala
Kemudian gerimis duka, tanah-tanah duka

Kemudian...

Sungai yang sekarat, segala yang pekat dan langit masih mengingat
kelembutan -kebohongan sebenarnya- darimu. Darimu!

Detak jam yang tenggelam, kunang-kunang dan hujan
Masa-masa lalu yang bergegas adalah kau fulan



Kamis, 12 Desember 2013

Ulasan Komunitas Penulis IAIC (KOPI) Cipasung di Kolom "Kampus" Pikiran Rakyat




Nginep Sastra di Cibatu


Puisi "Perempuan Tua Itu" karya Romli Burhani

 Perempuan Tua Itu

Perempuan tua itu
Terpaksa menunggu
Luka nganga dan kisah tua

Kantor pengelolaan identias
seorang manusia
Yang dibatasi kegelisahan

Di tapak-tapak
bekas antrean yang entah
nomer keberapa saat itu
Hanya yang dia hafal adalah
selalu ada luka
-Yang jantungnya terampas

Perempuan tua itu
Memamah sisa asap
dari mobil-mobil tua para priyayi
Semakin ia menunggu
semakin lebarlah sayatan yang
tertera di tubuh keriputnya.


Senin, 09 Desember 2013

Puisi "Suatu Malam di Bulan Februari" karya Romli Burrhani

Suatu Malam di Bulan Februari

Dada yang berjejak.
Jejakku
setengah badai. Dikamar itu.
Bukan milikku.
Bukan milik kita berdua.

menyeret kenangan. ranjang yang lengang.
sprei yang gersang.

Tapi malam,
Kekasihku.
mengantarkan sepi.

Februari 2012

Minggu, 08 Desember 2013

Esai "Hilangnya Budaya Literasi Mahasiswa" (Radar Tasikmalaya, 8/12/2013)


Hilangnya Budaya Literasi Mahasiswa 

Aku mengenali mereka
Yang tanpa tentara mau berperang melawan diktator
Dan yang tanpa uang mau memberantas korupsi
Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?
Potongan sajak “Pesan”, Soe Hok Gie
(sebelum Soe Hok Gie meninggal)

Mahasiswa menduduki peran yang amat penting bagi kemajuan bangsa Indonesia dalam berbagai aspek salah satunya adalah mahasiswa berperan sebagai penyalur aspirasi rakyat melalui pergerakannya menghadapi polemik yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perlu diketahui gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya. Bisa kita lihat bagaimana sejarah membuktikan tentang peran mahasiswa sebagai salah satu tonggak lajunya kehidupan bangsa Indonesia. Pada pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah air. Mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh pada saat itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun 1926, Kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun 1930-an. Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia yang memunculkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober 1928, dimotori oleh PPPI. Kemudian pada tahun 1945 Mahasiswa yang pada saat itu terpaksa ikut dalam kasus gerakan kelompok bawah tanah yang antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni, terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan Indonesia yang akhirnya bangsa Indonesia hingga saat ini dapat menikmati kemerdekaan yang telah mereka perjuangkan. Peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa Rengasdengklok. Kemudian beberapa tahun kemudian, antara tahun 1965-1966 mahasiswa kembali berperan. Pada tanggal 25 Oktober 1966 mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb, yakni PMKRI, HMI, PMII, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI). Tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan. Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain. Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan dalam mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan '66, yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah mereka yang kemudian berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru, di antaranya Cosmas Batubara (Eks Ketua Presidium KAMI Pusat), Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi ketiganya dari PMKRI,Akbar Tanjung dari HMI dll. Angkatan '66 mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Setelah Orde Lama berakhir, aktivis Angkatan '66 pun mendapat hadiah yaitu dengan banyak yang duduk di kursi DPR/MPR serta diangkat dalam kabibet pemerintahan Orde Baru. Berbeda dengan yang terjadi pada tahun 1966 yang pada saat itu para mahasiswa begitu erat dengan militer maka generasi mahasiswa pada tahun 1974 mengalami konfrontasi dengan militer. Pada tahun ini antara mahasiswa dan militer benar-benar terjadi chaos. Sebelum menginjak awal 1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru. Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut gerakan "Mahasiswa Menggugat" yang dimotori Arif Budiman yang progaram utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM, dan korupsi. Protes terus berlanjut. Tahun 1972, dengan isu harga beras naik, berikutnya tahun 1973 selalu diwarnai dengan isu korupsi sampai dengan meletusnya demonstrasi memprotes PM Jepang Kakuei Tanaka yang datang ke Indonesia dan peristiwa Malari pada 15 Januari 1974. Gerakan mahasiswa di Jakarta meneriakan isu "Ganyang Korupsi" sebagai salah satu tuntutan "Tritura Baru" disamping dua tuntutan lainnya Bubarkan Asisten Pribadi dan Turunkan Harga; sebuah versi terakhir Tritura yang muncul setelah versi koran Mahasiswa Indonesia di Bandung sebelumnya. Gerakan ini berbuntut dihapuskannya jabatan Asisten Pribadi Presiden. Tahun 1977-1978 muncul kembali pergerakan Mahasiswa yang begitu dahsyat. Pada tanggal 28 Oktober 1977, delapan ribu anak muda berkumpul di depan kampus ITB. Mereka berikrar satu suara, "Turunkan Suharto!". Besoknya, semua yang berteriak, raib ditelan terali besi. Kampus segera berstatus darurat perang. Namun, sekejap kembali tentram. 10 November 1977, di Surabaya dipenuhi tiga ribu jiwa muda. Setelah peristiwa di ITB pada Oktober 1977, giliran Kampus ITS Baliwerti beraksi. Dengan semangat pahlawan, berbagai pimpinan mahasiswa se-Jawa hadir memperingati hari Pahlawan 1977. Seribu mahasiswa berkumpul, kemudian berjalan kaki dari Baliwerti menuju Tugu Pahlawan. Sementara di kota-kota lain, peringatan hari Pahlawan juga semarak. Di Jakarta, 6000 mahasiswa berjalan kaki lima kilometer dari Rawamangun (kampus IKIP) menuju Salemba (kampus UI), membentangkan spanduk,"Padamu Pahlawan Kami Mengadu". Juga dengan pengawalan ketat tentara. Peringatan 12 tahun Tritura, 10 Januari 1978, peringatan 12 tahun Tritura itu jadi awal sekaligus akhir. Penguasa menganggap mahasiswa sudah di luar toleransi. Dimulailah penyebaran benih-benih teror dan pengekangan. Sejak awal 1978, 200 aktivis mahasiswa ditahan tanpa sebab. Bukan hanya dikurung, sebagian mereka diintimidasi lewat interogasi. Banyak yang dipaksa mengaku pemberontak negara. Tentara pun tidak sungkan lagi masuk kampus. Berikutnya, ITB kedatangan pria loreng bersenjata. Rumah rektornya secara misterius ditembaki orang tak dikenal. Di UI, panser juga masuk kampus. Wajah mereka garang, lembaga pendidikan sudah menjadi medan perang. Kemudian hari, dua rektor kampus besar itu secara semena-mena dicopot dari jabatannya. Alasannya, terlalu melindungi anak didiknya yang keras kepala. Di ITS, delapan fungsionaris DM masuk "daftar dicari" Detasemen Polisi Militer. Sepulang aksi dari Jakarta, di depan kos mereka sudah ditunggui sekompi tentara. Rektor ITS waktu itu, Prof Mahmud Zaki, ditekan langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk segera membubarkan aksi dan men-drop out para pelakunya. Sikap rektor seragam, sebisa mungkin ia melindungi anak-anaknya. Beberapa berhasil tertangkap, sisanya bergerilya dari satu rumah ke rumah lain. Dalam proses tersebut, mahasiswa tetap "bergerak". Selama masih ada wajah yang aman dari daftar, mereka tetap konsolidasi, sembunyi-sembunyi. Pergolakan kampus masih panas, walau Para Rektor berusaha menutupi, intelejen masih bisa membaca jelas. Puncak dari peranan mahasiswa dalam beberapa dekade terjadi pada tahun 1998 yang pada saat itu para mahasiswa menuntut reformasi dan dihapuskannya "KKN" (korupsi, kolusi dan nepotisme) , lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya. Berbagai tindakan represif yang menewaskan aktivis mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan ini di antaranya: Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi Lampung. Gerakan ini terus berlanjut hingga pemilu 1999. *** Beberapa pergerakan para mahasiswa tersebut bukanlah tanpa didasari dengan pengorbanan dan pemikiran yang kuat. Para mahasiswa pada saat itu benar-benar berusaha keras untuk memperjuangkan segala sesuatu yang memang seharusnya menjadi hak seluruh rakyat indonesia. Mereka berjihad melawan segala ketidakadilan yang serta merta merugikan dan menganiaya rakyatt kecil. Sehingga Soe Hok Gie berkata dalam sajaknya “Aku mengenali mereka/ Yang tanpa tentara mau berperang melawan diktator/Dan yang tanpa uang mau memberantas korupsi//Kawan-kawan/Kuberikan padamu cintaku/Dan maukah kau berjabat tangan/Selalu dalam hidup ini?”. Akan tetapi apa yang terjadi dengan kondisi pergerakan mahasiswa hari ini?. Terlebih pemikiran yang berlaku dalam kehidupan para mahasiswa hari ini. Jika kita telaah kembali mengenai perkembangan yang terjadi dalam dunia pendidikan di tingkat tinggi dalam hal ini mahasiswa sebagai tokoh pergerakan di Indonesia maka patutlah kita selaku bangsa Indonesia merasa miris. Jika dahulu para mahasiswa yang berkumpul di warung-warung kopi berdiskusi secara matang tentang pergerakan yang harus dilakukan demi memperjuangkan hak rakyat Indonesia maka hari ini berbeda, para mahasiswa berkumpul, nongkrong dan mengobrol di kafe-kafe, warung kopi dan di taman-taman kampus membicarakan fashion, lifestyle dan seks bebas. Inilah yang mayoritas terjadi di lingkungan mahasiswa saat ini. Mahasiswa tidak lagi dianggap sebagai pencetus pergerakan rakyat Indonesia. Entah apa yang menjadi penyebab utama dari jatuhnya moral bangsa pada saat ini. Seperti halnya yang terjadi di Yogyakarta sebuah kota yang selama ini kita kenal sebagai kota pelajar, ternyata mayoritas Mahasiswi disana sudah tidak perawan lagi. Bahkan salah seorang mahasiswi yang kuliah di salah satu PTS di Yogyakarta mengatakan “Masalah keperawanan di Yogyakarta sudah tidak menjadi hal yang patut dipertahankan. Sebaliknya, setiap kali berbicara dengan teman-teman, semua orang selalu membicarakan soal seks, soal hubungan dengan pacar-pacarnya atau mantan-mantannya. Bahwa ‘saya sudah tidur dengan si A atau si B', merupakan suatu kebanggan”. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan di kampus telash menuai berbagai efek negatif, tidak sedikit dari mereka yang malah menjadi seorang PSK. Fenomena mahasiswi yang menjadi pekerja seks komersial atau biasa disebut ayam kampus ditemukan di Kota Makassar. Pada tahun 2005, peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar, Disana ditemukan sejumlah pengakuan dari beberapa mahasiswi. Tidak semua mahasiswi yang terjun menjadi ayam kampus karena alasan kebutuhan ekonomi. Tapi sebagian di antaranya mengaku menjadi ayam kampus karena tidak mampu menahan desakan biologisnya. Melihat fenomena yang terjadi saat ini, maka apa tindakan yang harus kita lakukan sebagai generasi penerus bangsa Indonesia. Beralih dari masalah ayam kampus di atas, kita lihat pergerakan mahasiswa saat ini. Ideologi pergerakan mahasiswa pada masa kekinian telah mengalami kemunduran yang cukup telak. Tidak bisa dipungkiri generasi-generasi muda saat ini telah mendapatan berbagai pengaruh globalisasi. Para aktivis mahasiswa mengalami krisis ideologi. Hal ini disebabkan karena berkurangnya atau melemahnya budaya literasi dalam lingkungan mahasiswa. Budaya literasi merupakan hal yang amat penting, sebab dari sinilah munculnya pikiran-pikiran kritis guna menghadapi setiap masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Budaya literasi yakni budaya membaca, menulis dan diskusi. Seorang aktivis mahasiswa seharusnya memiliki daya baca yang kuat sebab dengan membaca akan muncul pemikiran-pemikiran yang kritis mengenai lingkungan di sekitarnya. Seorang aktivis mahasiswa juga seharusnya dapat menuangkan pikiran-pikirannya melalui tulisan agar ide-ide mengenai permasalahan sosial yang dianggap dapat memberikan kesadaran bagi mahasiswa dan masyarakat itu dapat disebarkan melalui media-media cetak. Terakhir adalah budaya diskusi, setelah seorang aktivis mahasiswa telah memiliki kemampuan membaca dan menulisan pikiran-pikirannya maka seorang mahasiswa dituntut untu mengantarkannya kedalam sebuah forum diskusi. Entah itu sebuah diskusi santai di warung-warung kopi atau diangkat dalam sebuah diskusi yang lebih formal. Namun, pada kenyataannya, hari ini mayoritas mahasiswa dan para kativis hanya mementingkan kepentingan golongannya masing-masing, tida sedikit para aktivis dari stu golongan dengan golongan yang lain mengalami clash. Selebihnya seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa gerakan mahasiswa pada masa kekinian telah mengalami kemunduran. Hal ini terbukti dengan hilangnya budaya literasi yang kemudian dihancurkan oleh budaya lifestyle, fashion dan seks bebas.

Nginep Sastra, Sanggar Sastra Tasik (SST) ke Cibatu, Rumah Penyair Ratna Ayu Budiarti


Jumat, 06 Desember 2013

Puisi Acep Zamzam Noor



ZIKIR

Aku mengapung
Ringan
Meninggi padamu. Bagai kapas menari-nari
Dalam angin
Jumpalitan bagai ikan
Bagai lidah api

Bau busuk mulutku, Anne
Seratus tahun memanggi-manggil
Namamu

Inilah zikirku:
Lelehan aspal kealpaanku, cairan timah
Kekeliruanku, gemuruh mesin keliaranku
Tumpukan sampah keterpurukanku
Selokan mampat kesia-siaanku

Aku tak tidur padahal ngantuk, tak makan
Padahal lapar, tak minum padahal haus
Tak menangis padahal sedih, tak berobat
Padahal luka, tak bunuh diri
Padahal patah hati

Anne! Anne! Anne!

Zikirku seribu sepi menombakmu
Menembus lapisan langitmu, membongkar
Gumpalan megamu, membakar pusaran
Kabutmu, menghanguskan jarak
Ruang dan waktu


Aku mencair
Bagai air
Mengalir padamu. Bagai hujan   
Tumpah ke bumi
Menggelinding bagai batu
Bagai hantu

Anne! Anne! Anne!

Inilah rentetan tembakan kerinduanku, lemparan
Granat ketakutanku, dentuman meriam kemabukanku 
Luapan minyak kegairahanku, kobaran tungku kecintaanku
Semburan asap kepunahanku

Aku tak mengemis padahal miskin, tak mencuri
Padahal terdesak, tak merampok padahal banyak utang
Tak menipu padahal ada kesempatan, tak menuntut
Padahal punya hak, tak memaksa
Padahal putus asa

Anne! Anne! Anne!

Zikirku seribu sunyi mengejarmu
Menggedor barikade pertahananmu, menerobos
Dinding persembunyianmu, mengobrak-abrik ruang
Semadimu, menghancurkan singgasana
Kekhusyukanmu

Bau busuk mulutku, Anne
Seratus tahun memanggil-manggil
Namamu

Cipasung

Di lengkung alis matamu sawah-sawah menguning
Seperti rambutku padi-padi semakin merundukkan diri
Dengan ketam kupanen terus kesabaran hatimu
Cangkulku iman dan sajadahku lumpur yang kental
Langit yang menguji ibadahku meneteskan cahaya redup
Dan surauku terbakar kesunyian yang dinyalakan rindu

Aku semakin mendekat pada kepunahan yang disimpan bumi
Pada lahan-lahan kepedihan masih kutanam bijian hari
Segala tumbuhan dan pohonan membuahkan pahala segar
Bagi pagar-pagar bambu yang dibangun keimananku
Mendekatlah padaku dan dengarkan kasidah ikan-ikan
Kini hatiku kolam yang menyimpan kemurnianmu

Hari esok adalah perjalananku sebagai petani
Membuka ladang-ladang amal dalam belantara yang pekat
Pahamilah jalan ketiadaan yang semakin ada ini
Dunia telah lama kutimbang dan berulang kuhancurkan
Tanpa ketam masih ingin kupanen kesabaranmu yang lain
Atas sajadah lumpur aku tersungkur dan terkubur


Bahasa Langit 

Bernyanyilah dalam getar bunga-bunga
Atau duduk saja menghikmati malam
Mungkin angin akan datang menengokmu dengan kecemasan
Tapi yang ingin diucapkannya

Adalah nyanyian yang terpendam tahun-tahunmu
Bernyanyilah dalam selimut batu-batu
Atau mengembara dalam hujan kata-katanya
Sebab langit yang turun adalah sahabat bumi
Yang menyiram kebun-kebun asuhannya. Itulah bahasa
Tapi matamu telah buta membacanya


Angin dan Batu
1
Kenapa harus batu yang diam
Dan bukan angin? Ia padat dan dingin
Tapi bergolak bagai api
Di perutnya sungai mengalir dan keheningan
Sembahyang. Ia diam dan bisu
Sekaligus menderu

2
Kenapa bukan angin
Dan harus batu? Ia tersepuh waktu
Matang oleh rindu

KAU PUN TAHU

Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Juga tak ada lagi kerinduan
Bintang-bintang yang kuburu
Semua meninggalkanku
Lampu-lampu sepanjang jalan
Padam, semua rambu seakan
Menunjuk ke arah jurang

Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Juga tak ada lagi nyanyian
Suara yang masih terdengar
Berasal dari kegelapan
Kata-kata yang kusemburkan
Menjadi asing dan mengancam
Seperti bunyi senapan

Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Juga tak ada lagi keindahan
Kota telah dipenuhi papan-papan iklan
Maklumat-maklumat ditulis orang
Dengan kasar dan tergesa-gesa
Mereka yang berteriak lantang
Tak jelas maunya apa

Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Juga tak ada lagi persembahan
Aku sembahyang di atas comberan
Menjalani sisa hidup tanpa keyakinan
Perempuan-perempuan yang pernah kupuja
Seperti juga para pemimpin brengsek itu –
Semuanya tak bisa dipercaya

Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Juga tak ada lagi yang perlu dinyatakan
Pidato dan kentut sulit dibedakan
Begitu juga memuji dan mengutuk
Mereka yang lelap tidur
Bangunnya selalu kesiangan
Padahal ingin disebut pahlawan
---


SEPOTONG SENJA

Sepotong senja kemerahan yang kauberikan padaku
Segulung mega serta segenggam kabut yang memabukan itu
Masih belum bisa kuterjemahkan sebagai puisi
Senyummu terlalu jenaka untuk seorang Rabi’ah
Dan punggungmu belum cukup bungkuk untuk tertatih
Menyusuri lorong-lorong Basrah dengan tongkat tua
Bagiku, kesepian belum cukup untuk lahirnya sebuah puisi
Sebab kita belum cukup terbakar dalam api

Berkali-kali kausebut aku Hamlet yang gila
Hanya karena keraguanku menafsirkan sorot matamu
Karena begitu lama kubutuhkan waktu untuk terus berlari
Sebelum kulumuri kanvas-kanvasku dengan airmata
Mungkin aku lebih mirip Sisifus yang terkutuk
Atau Narsisus yang mabuk? Sepotong senja yang kauberikan
Segulung mega serta segenggam kabut yang memabukan itu
Masih belum bisa kuungkapkan sebagai lukisan

Di terowongan-terowongan kota Mekkah
Aku tidak menulis apa-apa, juga tidak melukis siapa-siapa
Di gurun-gurun pasir yang garang, di bukit-bukit batu
Aku tidak meratap atau menyanyi, hanya sekedar membaca sunyi
Aku bukanlah Bilal yang nyaring mengumandangkan azan
Juga bukan Hamzah yang lantang di garis paling depan
Bukan siapa-siapa. Kepenyairan hanya berlangsung dalam hatiku
Dan aku terus berlari dengan sepotong senja yang kauberikan

Di kanal-kanal Venezia, di relung-relung jembatan yang renta
Di antara para pelancong dan penziarah, juga para pelacur dan pastor
Aku tidak pernah lupa memanggil namamu, juga tidak pernah lupa
Menyumpahimu. Kubuka sebuah peta kuno di meja restoran
Sambil membayangkan pasukan kuda berderap dari arah selatan
Lalu kanvas-kanvas kosong kugelar sepanjang trotoar, kertas-kertas
Kutempel sepanjang terowongan. Ternyata aku tidak pernah lupa
Pada rambut ikalmu, pada hijau pupus kerudungmu

Sekali waktu kau mengejekku pengecut yang saleh
Ketika aku tersentak mendengar keinginanmu pergi ke Aceh
Mengikuti jejak Tjut Njak Dien dengan sebuah lentera kecil
Apakah kau mencari sesuatu yang paling ujung, paling tepi
Paling sunyi? Tapi alis matamu terlalu indah untuk rimba-rimba
Untuk perburuan makna di tengah dahsyatnya belantara
Ah, mungkin Lhok Nga akan menyambutmu dengan rebana
Atau malah menimbunmu dengan karangan bunga

Tiba-tiba aku tersungkur di lembah Mina
Jasadku yang telanjang hanya dibalut selembar kain putih
Seperti matahari, seperti udara, seperti tenda-tenda semuanya
Memutih. Apakah domba-domba mendengar jerit suaraku yang perih
Dan memberikan darahnya untuk mengentalkan lukaku? Apakah
Unta-unta mencium bau anyir kesakitanku? Apakah bukit-bukit batu
Membaca kerinduanku dan menggelindingkan satu bongkahannya
Untuk menindihku? Apakah gurun-gurun pasir memahami serapahku?

Sepotong senja kemerahan yang kauberikan padaku
Segulung mega serta segenggam kabut yang memabukan itu
Masih belum bisa kuterjemahkan sebagai puisi
Payudaramu terlalu lunak untuk seorang Madonna
Dan bibirmu belum cukup tebal untuk selalu tersenyum
Sambil melambai-lambaikan tangan dengan sebatang cerutu
Bagiku, keindahan belum cukup untuk lahirnya sebuah puisi
Sebab kita belum cukup tenggelam dalam sepi


***
---

Rabu, 04 Desember 2013

Pembacaan Puisi di Pesantren Sukamanah



Puisi "Sajak Doa" karya Romli Burhani



Sajak Doa

Bismillah,
menyebut Dzat yang tak tersentuh
amarah menyambut doa-doa

Telah kupertemukan
sajak-sajakku dengan
anugerah berahi dariMu Ya Rabb
Lalu kalam-kalamMu tiba
Dari setiap celah bumi yang karam
Dari catatan yang tak tenggelam

Ke dalam waktu
Ke dalam kenangan

Hanya jika bebatuan, pohon dan
Perempuan-perempuan yang selalu
memberi isyarat bagi bayi-bayi suci
Merenggut Arsy dan persemayamanMu
Sedang mereka tak mengenal dosa

Kalam dengan cahaya yang menggantung
Di tubuhnya. Maka gugurlah

November 2013