Senin, 24 Februari 2014
NAPAK TILAS PERJUANGAN KH. ZAINAL MUSTHAFA SUKAMANAH
Mendambakan Kehadiran Ulama Panutan
Sejauh yang saya ketahui, setiap akhir bulan Februari, dalam setiap surat kabar -paling tidak sebagian besar- yang beredar di daerah Jawa Barat, terutama di daerah priangan timur, selalu dimuat artikel tentang perjuangan KH. Zainal Musthafa Sukamanah. Kebanyakan dari artikel tersebut hanya mengulas sekitar riwayat hidup KH. Zainal Musthafa atau paling jauh hanya membahas tentang lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan yayasan KH. Zainal Musthafa. Hal ini dapat dimaklumi karena memang mayoritas penulisnya adalah alumnus dari lembaga pendidikan tersebut.Menurut hemat saya, selaku orang masih menimba ilmu di Pesantren Perguruan KH. Zainal Musthafa (Pesantren Sukamanah), tulisan yang hanya menyajikan ulasan tentang riwayat hidup atau lembaga pendidikan KH. Zainal Musthafa dengan mengabaikan nilai-nilai yang ada di dalamnya terasa sangat hambar dan hampa. Di tengah-tengah kondisi masyarakat dewasa ini, yang sebagian besar sedang mengalami krisis figur dan kepercayaan serta degradasi moral dan spiritual, bukan ulasan sejarah yang mereka butuhkan, akan tetapi ajaran moral dari sejarah tersebut, yang sering saya sebut sbagain “ajaran hidup dan kehidupan”.
Bagi mayoritas warga Tasikmalaya, nama KH. Zainal Musthafa sudah sangat lekat dengan kehidupan mereka, karena paling tidak mereka mengenalnya sebagai sebuah nama jalan di pusat kota Tasikmalaya, atau nama sebuah monumen perjuangan, dan mungkin juga mereka mengenalnya sebagai sebuah nama yayasan pendidikan di desa Sukarapih-Sukarame. Di samping itu ada juga yang mengenalnya sebagai sosok seorang ulama kharismatik sekaligus sebagai seorang pahlawan Nasional. Ironis sekali apabila kita hanya mengenal KH. Zainal Musthafa hanya sebatas nama dan sejarah dan tidak sampai pada nilai-nilai yang terkandung dalam sosok dan sejarah tokoh tersebut. Diakui atau tidak, hal ini merupakan tanda kegagalan kita dalam memahami dan mempelajari sejarah. Sehingga bagi kita, sejarah hanya seolah cerita di masa dulu (lawas), hanya sebatas dongeng, kenangan dan hanya sebatas saksi bisu.
Biasanya setiap tanggal 25 Februari, di Tasikmalaya terutama di kabupaten, selalu diadakan acara peringatan perjuanga KH. Zainal Musthafa. Bahkan pemerintah daerah sendiri dalam hal ini Bupati dan jajarannya selalu melakukan upacara penghormatan di Taman Pahlawan KH. Zainal Musthafa Sukamanah. Di pesantren Sukamanah sendiri acara peringatan perjuangan KH. Zainal Musthafa selalu di isi dengan ritus tertentu yang biasa disebut dengan “Napak Tilas”, disamping acara yang lainnya. Napak Tilas sendiri merupakan kegiatan menempuh rute atau mengunjungi tempat (pesantren) yang pernah ditempati oleh KH. Zainal Musthafa. Akan tetapi, seperti yang saya katakan tadi, memperingati perjuangan KH. Zainal Musthafa hanya sebatas ritual dan ceremonial dengan mengabaikan nilai-nilai moral yang ada di dalamnya adalah pertanda kegagalan kita dalam memaknai, mempelajari dan memahami sejarah bangsa. Oleh karena itu, dalam tulisan ini, saya tidak akan banyak membicarakan sejarah KH. Zainal Musthafa, akan tetapi saya akan memfokuskan tulisan ini terhadap nilai-nilai moral yang tersirat dalam sejarah dan kepribadian KH. Zainal Musthafa.
Setidaknya ada dua sisi yang cukup menonjol dari sosok KH. Zainal Mushtafa. Pertama, KH. Zainal Musthafa sebagai seorang ulama panutan umat, dan kedua, KH Zainal Musthafa sebagi seorang pahlawan (pejuang). Biasanya kedua sisi ini sering membuat orang yang membaca biografinya merasa kagum.
Kita mengenal KH. Zainal Musthafa sebagai seorang ulama karena memang secara intelektual beliau mumpuni dalam bidang agama (islam). Bahkan beliau sendiri adalah pendiri sekaligus pimpinan Pesantren Sukamanah yang pernah menimba ilmu dari beberapa pesantren. Di Tasikmalaya saja beliau pernah belajar di beberapa pesantren, di antaranya : pesantren Gunung Pari (selama 7 tahun), pesantren Cilenga (selama 4 tahun) dan pesantren Jamais (selama 1 tahun). Bahkan beliau pernah belajar di pesantren Sukaraja Garut (selama 3 tahun) dan pesantren Sukamiskin Bandung (selama 3 tahun). Maka tidak aneh jika beliau sangat terkenal sebagai seorang yang fakar dalam bidang Tafsir al-Qur’an. Atau setidaknya kita mengenal beliau sebagai seorang ulama karena ada embel-embel kiai di depan namanya, yang memang pada saat ini digunakan untuk merujuk pada seseorang yang ahli dalam bidang agama islam (ulama).
Sejatinya kata kiai sendiri berasal dari Bahasa Jawa, saya pribadi tidak tahu tentang makna asli dari kata ini, akan tetapi bila merujuk pada penggunaannya kata ini dipergunakan oleh orang Jawa selaku pemilik asli istilah ini untuk menunjukkan pada sesuatu yang dihormati, dikramatkan dan disakralkan. Seperti halnya kiai sekati yang merupakan nama gamelan yang dipergunakan dalam ritual sekaten di Jogjakarta. Sebenarnya ulama disebut kiai memiliki landasan tersendiri di antaranya, pertama, seorang ulama adalah orang yang memiliki rasa takut pada Allah atau religiusitas yang tinggi, dan kedua, karena ulama adalah pewaris para Nabi, sehingga dalam masyarakat pedesaan ulama menjadi rujukan dalam segala hal, bahkan ada yang meyakininya sebagai manusia yang memiliki daya mistis dan magis tersendiri sehingga masyarakat menghargai, menghormati atau menganggapnya sakral.
Akan tetapi manakala peran kiai (ulama) ditelusuri di zaman ini, umat nyaris kehilangan panutan. Peran ulama sangat tidak terdeteksi. Hal ini disebabkan karea beberapa faktor. Pertama, ulama lebih dekat pada penguasa ketimbang pada rakyat (umat) dan cenderung kooperatif terhadap rezim yang korup dan tiranik. Hari ini ulama tidak lebih dari sekadar alat legitimasi kekuasaa dan stempel kepentingan penguasa yang zalim, padahal ulama seharusnya menjadi penjaga umat seperti halnya para Nabi. Kalau boleh diumpamakan -mengutip sebuah sya’ir berbahasa Arab- ulama itu ibarat seorang penggembala yang menjaga gembalaannya dari serangan serigala, dan umat ini adalah gembalaanya. Tapi bagaimana jika penggembala tersebut hakikatnya adalah serigala?. Saya merasa ngeri dan tak kuasa membayangkannya jika ulama yang kita miliki saat ini tak lebih dari serigala berbulu domba. Umat hanya dijadikan santapan dan korban untuk kepentingan pribadi. Kedua, ulama cenderung bersikap apatis dan cuex terhadap kondisi sosial dan politik di masayrakat, mereka lebih senang berdiam diri meskipun umat mengalami berbagai keprihatinan. Hari ini mereka cenderung menutup mata atas realitas di sekelilingnya, mereka bungkam terhadap kezaliman penguasa, bahkan mereka lebih senang bergelut dengan kepentingan pribadinya. Nurani mereka menjadi bisu dan seakan telah berubah menjadi zhulmani (hati yang gelap).
Tanpa disadari, fakta demikian telah menunjukkan kebenaran tesis al-Ghazalai tentang adanya dua tipikal ulama, yaitu ulama akhirat (ulama yang baik) dan ulama su’ (ulama yang jahat). Selain itu realitas demikian telah menyebabkan istilah ulama dan kiai telah hilang nuansa sakralnya dan berkurang gregetnya. Ulama dan kiai hanya sekedar bahasa atau istilah yang hampa dari makna. Bahkan sabda Nabi saw yang menyatakan “Ulama adalah pewaris para Nabi” seakan sudah kehilangan konteks dan nuansa sakralnya. Maka tidak mengherankan jika sebagian dari mereka teralienasi dan termarginalkan dari lingkungannya, bahkan peran mereka telah diambil alih oleh kaum cendekiawan. Sangat disayangkan bila ulama saat ini lebih banyak bergaul dengan para penguasa dan cenderung menjauh dari umat. Hubungan antara ulama dan penguasa terlihat sangat akrab seolah ada hubungan perselingkuhan romantis diantara mereka. Jika keadaannya terus berlanjut seperti itu, maka bisa dikatakan bahwa memang sudah terjadi sebuah pengkhianatan kaum elite agama Indonesia terhadap umat. Maka peringatan perjuangan KH. Zainal Musthafa saat ini seharusnya bisa mengetuk hati nurani ulama sehingga mereka bisa lebih dekat dan kembali pada umat, atau paling tidak bisa mengobati rasa dahaga umat akan kehadiran sosok ulama panutan.
Disamping itu, dalam sejarah kita menemukan sebuah kenyataan bahwa KH. Zainal Musthafa adalah seorang aktor kunci dalam peristiwa heroik di Sukamanah pada tanggal 25 Februari 1944. Pada saat itu KH. Zainal Musthafa beserta para santri dan pengikutnya melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Jepang yang menamakan dirinya sebagai “Pembela Asia”. Bahkan KH. Zainal Musthafa secara tegas dan lantang menolak praktek seikerei yang dalam pandangan beliau merupakan bentuk lain dari kemusyrikan dan kekafiran dan bertentangan dengan konsef Tauhid dalam Islam. Sebelumnya, pada masa kolonialisme Belanda KH. Zainal Musthafa sangat mengutuk praktek penjajahan, sehingga sudah sangat sering beliau keluar masuk penjara. Sementara itu, pada masa penjajahan Jepang beliau tidak hanya dipenjara, akan tetapi menerima hukuman mati. Sebuah kisah sangat mengagumkan sekaligus mengharukan.
Bagi kita sendiri dalam kondisi saat ini, pahlawan seolah tak jauh beda dengan pendekar, mereka hanya hidup di negeri dongeng, dan hanya ada dalam imajinasi manusia, mereka tidak pernah benar-benar nyata dalam kehidupan dunia. Hal ini, disebabkan karena bangsa kita sedang mengalami kelangkaan para pahlawan, mereka seakan tidak akan pernah hadir di zaman sekarang. Wanita di negeri seolah mandul secara massal untuk melahirkan seorang pahlawan. Padahal kita tahu, bahwa bangsa ini didirikan di atas tulang belulang dan genangan darah para pahlawan.
Ada satu hal yang harus kita cermati, dari sikap KH. Zainal Musthafa yaitu, sikap oposan (oposisi) terhadap kolonialisme. Sikap oposan biasa diartikan sebagai sikap dengan mengambil posisi saling berhadapan, berseberangan dan bertentangan. Akan tetapi bukan hanya sekedar berlawanan, Sikap oposan KH. Zainal Musthafa adalah sikap oposan yang berorientasi pada kepentingan umat. Dalam hal ini oposan merupakan semacam aktualisasi dari konsef Amar Ma’ruf Nahy Munkar (memerintah pada kebaikan dan mencegah kemunkaran). Sehingga bukan seperti oposisi ulama kita saat ini yang lebih berorientasi pada kepentingan kelompok dan partai politik. Sebenarnya sikap oposan yang berorientasi pada kepentingan kelompok tertentu kerap kali berseberangan dengan ajaran Islam, serta lebih menonjol subjektivismenya dan menggusur objektivisme.
Dengan demikian, menurut hemat saya, ulama sebaiknya menjauhkan diri dari percaturan politik dan partai, bukan tidak boleh, akan tetapi hal tersebut hanya akan menambah beban dan kegelisahan rakyat (umat). Mereka gamang dan bimbang, karena mereka tidak lagi mempunyai panutan (figur) yang dapat dijadikan rujukan dan pengaduan. Sungguh malang nasib umat ini, bila mereka tak lagi memiliki ulama panutan dan pahlawan yang dijadikan teladan. Semoga dengan moment peringatan perjuangan KH. Zainal Musthafa sekarang bisa terus memupuk harapan kita akan kehadiran sang pujaan. Karena selain harapan apa lagi yang bisa membuat kita mampu bertahan hidup dalam kondisi seperti ini. Dan di sisi lain, semoga nurani para ulama terketuk untuk kembali pada umat dan membenahi diri masing-masing.
BY: Jejen
Copyright: Pesantren Yayasan KH. Zainal Musthafa Sukamanah Tasikmalaya Jawa Barat Indonesia
Jumat, 14 Februari 2014
Rabu, 05 Februari 2014
Puisi Romli Burhani
Yatim
Once
upon a time
Anak lelaki itu,
telah ditelannya waktu
merah waktu
ia menjahit lukanya
dengan jari-jari yang remuk
sedang beku angin mengantarnya
pada amarah, lalu tiba-tiba
pergi, menyisakan ramalan tentang
tanah yang melahirkan tubuh tanpa kepala
matanya tak bulat
seperti semestinya bola mata
bulat atau lonjong
atau benar-benar berbentuk
selalu ada sisa yang terpotong
kemudian jatuh menjadi
airmata yang sakit
kepada seorang anak
telah ditinggalkannya waktu
ia menyisir rambutnya
namun helai demi helai
rambut itu perg lalu patah
seperti pula pandangannya
barangkali tak ada yang
akan memesan mimpi ketika
langkah-langkah terbentur
ketika harapan-harapan lebur
Siapakah yang akan mengelus keningnya
Setelah ia berkelahi dengan prahara
Sedang sebuah persembahan telah padam
Ia berharap, satu ketika, ia tak pernah ada
Januari 2014
"Tentang Seorang Perempuan II" karya Romli Burhani
dalam sajak ini, seorang perempuan
telah menyulam tangis. sakit yang rahasia
alam adalah peluru pada luka dijantungnya
lantas dengan segala dosa lama
dan musik jazz di sela-sela kota
sepi enggan pergi
ditubuhnya, doa jatuh
pada telapak tangan yang basah
sedang getar jarum jam hampir menjadi
dendam, kemudian kosong
“waktu tak akan pergi sebelum
langit itu mati” bisiknya
lalu matanya yang hijau
memandang jauh ke seberang pulau
“hidup tak hanya menunda kekalahan, ril!”
ia berbisik lagi, entah pada siapa
maka jari-jari itu memungut kembali
kenangan dari sisa perjalanan yang belum
selesai. dalam sajak ini, seorang perempuan
telah jatuh pada angin
laut sebenarnya tak pernah mati
atau kekal barangkali
hanya waktu tak jua sampai ke tepi
2014
Langganan:
Postingan (Atom)